Rabu, 08 Agustus 2012

YOU’RE MY LOVE, DEV !! (Short Story)



*********************
**YOU’RE MY LOVE, DEV !!**


        Terik matahari menerobos ventilasi sudut ruangan, menyilaukan retina ku, hingga pupil ku mengecil di buatnya, tubuh ku juga tersengat seperti di sengat api, sungguh sangat panas. Ku hela nafas sesaat, dan ku hempaskan sekuat mungkin agar menghapus rasa sengak di tenggorokan ku.
        Ku lirik arloji sesaat. 12.30. berarti 1 jam lagi aku dapat menghempaskan tubuh di atas kasur, sungguh waktu yang lama. Mengapa waktu begitu lama bergulir di saat tidak mengenakkan ini ? batinku berbicara.
        “ itu karena kamu tidak memperhatikan pelajaran, Cha.” Sahut seseorang yang membuat ku sedikit terhenyak. dia bisa baca pikiran ku, lagi lagi batin ku berkata.
        “ kamu tak usah bingung Cha. Aku memang bisa membaca pikiran orang. Gini yah Cha, sebenarnya baru kali aku bisa membaca pikiran mu. Apa kamu mempunyai kekuatan sama seperti ku ?” Lanjutnya, hingga sontak membuat ku terkejut dengan penuturan dan pertanyaan nya tadi. Ya, bagaimana tidak, dia adalah orang pertama yang menanyakan itu pada ku. Chasarina Novadituan itulah nama ku. Sejak umur 4 tahun aku memang mengetahui bahwa aku mempu yai kelebihan, yaitu : BISA MEMBACA PIKIRAN ORANG.
        “Cha? Hello Cha? Aku tahu kok kamu punya kekuatan seperti ku, karena kata mami bahwa hanya ‘orang yang bisa membaca pikiran orang’ yang bisa mengetahui seseorang itu mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal apa.” dia berbicara lagi. Sungguh, dia bisa baca pikiran aku, anak ini benar-benar jenius, lebih jenius dari Thomas Alva Edison sepertinya.
        “Dan aku tahu, bahwa kamu memiliki kekurangan dalam bidang olahraga, kamu lemah dibidang itu. Iya kan, Cha?”
        Teman ku ini merupakan siswa baru, aku pun tak tahu namanya karena saat perkenalan aku tidak memperhatikan. Dan ku pikir-pikir buat apa juga coba, nggak penting banget.
        “Kamu dari tadi kebanyakan ngoceh deh. Aku belum sempet jawab, eh, nyerocos lagi nyerocos lagi. T’rus, kok kamu SKSD banget sama aku. Nggak seperti anak lainnya yang enggan berbicara dengan ku karena menurut mereka aku anak seorang dukun. Apa kamu tak seperi mereka yang menganggap ku …… ?”
“Tidak, Cha. Kamu bukan anak seorang dukun. Tapi apa karena ayah mu juga bisa melihat masa depan, hingga mereka menyimpulkan bahwa ayah mu itu seorang dukun?”sela nya di saat emosi ku memuncak.
“Iya, saat itu, sahabat ku, Zha, main ke rumah aku. Ayah bilang kepada Zha agar lebih baik pulang secepatnya sebelum Adzan Magrib, karena akan terjadi suatu hal dengan rumahnya. Ternyata benar, rumah Zha kebakaran setelah Adzan Magrib. Zha menyesal karena tidak mengindahkan nasehat ayah ku. Tapi setelah itu dia sangat membenci aku dan keluarga ku karena menurut nya ayah ku lah penyebab kebakaran rumah dan meninggal nya adik bungsunya itu.” Sahut ku cepat menceritakan semuanya. Anehnya, baru kali ini aku mau bercerita dan terbuka pada orang yang baru aku kenal. Ya, tapi aku kan sudah baca pikirannya bahwa dia anak yang baik. Aku pun sempat melenyit ke hal yang membuat aku kaget, yaitu aku menjalin hubungan lebih dari teman dengannya.
“O’ya, siapa nama mu?” lanjut ku sedikit mengalihkan pembicaraan.
“Dev. Putra Dev Agung Wirayoga.”
“Orang Bali?”
“Ya.”
“salam Kenal.”
“he.em, lalu sampai sekarang..?” tanyanya, ku kira dia ingin melanjutkan hal tadi, tapi bel telah berbunyi, sangat tidak terasa, satu jam artinya aku berbincang dengan Dev tadi. Hahaha, parah kamu Cha, batinku meledek.
*******************
“cha..”
Terdengar sebuah suara menyapaku. Ku tengok seratus delapan puluh derajat. Dev yang memanggil ku rupanya.
“hmm” gumam ku.
“Pulang bareng yuk”
“aku kan bawa motor Dev.”
“yodah, lumayan, aku nebeng, ntar aku boncengin deh.” Pintanya memohon dengan wajah memelas.
“okede”
“Yuk”
“hooh”
                         ****************************      
Drrt..drrt…
Satu pesan masuk di hp Acha. Gadis ini terkejut. Dia aja masih molor sebelum hp nya bergetar, tapi… dia tersenyum. Betapa tidak. Dev, sahabat barunya ngesms dia.
From : My BFF -Dev-
‘pagi Cha. Udah bangun belum nih.?
‘oya, Cha. Nama kamu panjanga’y appah Cha?
Acha tersenyum membacanya.
Dengan iseng dia balas sms itu dengan cekikikan.
To : My BFF -Dev-
‘Pagi juga, Dev.
‘baru ajah aku bangun, habis kamu ganggu seh.. :D
‘nama panjang aku : chaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa *panjang bukan, Dev ? :D
‘nama ku Chasarina Novadituan. Panggil aja Acha.
‘J
“Send” kata Acha kemudian seraya menekan pipet bagian tengah navigasinya.
“Mandi dulu ah.” Lanjutnya..
************************
My BFF -Dev- calling, itulah satu kalimat yang sekarang tertera di layar BB nya.
“Hah? Dev nelpon, kenapa ya” gumam Acha.
Untuk menjawab pertanyaan hatinya, Acha menekan pipet hijau, dan………
“Hallo, Ada apa, Dev?”
“I LOVE YOU”
Hanya kalimat itu yang terdengar keras dari seberang sana, namun belum sempat Acha menanggapi, telepon telah diputus. Acha bingung, gundah, gelisah. Semuanya bercampur aduk menjadi satu adonan. Apa yang sebenarnya terjadi, Ya Allah. Kalau memang Dev mencintai ku, tetapi aku dan dia beda keyakinan. Mami dan papi pasti tidak merestui hubungan kami. Kakakpun pasti begitu. Oh, Dev, mengapa kau harus mencintai ku. Tapi,,, lebih baik, aku tanyakan lebih jelas sajalah. Batin ku berucap demekian.

To : My BFF -Dev-
‘Dev, apa yang kamu teriakin di telpon tadi benar?

From : My BFF -Dev-
‘Iya, Cha. Mau nggak jadi pacar aku? :)

To : My BFF -Dev-
‘aku…
‘aku nggak bisa Dev.
‘kita beda keyakinan.
‘kita berteman saja yah, Dev. :)


From : My BFF -Dev-
‘hmm.
‘okedeh. :(

From : My BFF -Dev-
‘Dev marah sama Acha? :(
‘Kita sahabatan aja yah Dev.
‘jadi, Dev tetap bisa sama Acha.
‘mami, papi, dan kakak pasti juga restuin kalau kita sahabatan. :)

From : My BFF -Dev-
‘ga kok Cha.
‘Okk okk Cha. :)

To : My BFF -Dev-
‘Dev.
‘ada yg suka sama kamu llo. :D

From : My BFF -Dev-
‘siapa?

To : My BFF -Dev-
‘sahabat aku di Jepang.
‘Namanya Otawa Nasamba.
‘Kelahiran Jepang, ayah nya Jepang, tapi ibunya Indonesia.

From : My BFF -Dev-
‘darimana dia kenal aku?

To : My BFF -Dev-
‘ya dari aku lah dev :-

From : My BFF -Dev-
‘kok bisa kamu kenalin aku sama dia?



To: My BFF -Dev-
‘Karena waktu kita wtw di fb, dia liat pp kamu ganteng, dan sepertinya kamu orang baik. Begitu katanya.

From : My BFF -Dev-
‘boleh aku minta no hp nya?

To : My BFF -Dev-
‘mengapa tidak?
‘o852498o4368

From : My BFF -Dev-
‘thanks.
‘aku nggak akan lupa kamu kok, kalau aku udah jadian sama Nasa.
‘I will still love you, Cha. :*
‘aku SAYANG kamu.

To : My BFF -Dev-
‘Iya, sahabatku.
‘aku juga sayang sama kamu.

Itulah kiranya sms terakhir ku sama Dev. Entah kenapa butiran bening membasahi pipi ku. Aku tak dapat membendungnya. Aku merasa Dev akan melupakan ku setelah dia mendapatkan orang yang bisa menerimanya. Ya, betapa tidak, kemungkinan itu besar sekali, Nasa dan Dev sama – sama beragama Hindu. Ditambah Nasa sekarang memang resmi menjadi pacar Dev. Tapi, aku juga tak dapat menghalangi mereka. Aku juga tak dapat mengakatakan bahwa Nasa adalah seorang TMT, ya, karena aku lah yang ngecomblangin mereka. Tapi, tetap saja hati ini tak ikhlas. Tapi, ya sudah lah. Hmm, dari tadi, aku curhat kok kebanyakan tapinya ya? Hee, batinku.
Sudah lama rasanya aku tidak berhubungan dengan sahabat ku itu, Dev. Apa dia lupa dengan aku? Dev, aku kangen kamu, batinku.
****************
Sinar mentari pagi ini membangunkan ku lebih awal, entah apa yang membuatku begitu bersemangat pagi ini. Tidak seperti biasanya. Ku singkap tirai di kamarku. Ku buka jendela. Ku hentangkan tangan seraya menggeliat layaknya menghirup udar segar. Tiba – tiba aku teringat Dev, sahabat lama ku itu lama tak menyapaku.
“Dev, kamu apa kabar?” tiba-tiba kalimat itu spontan ku ucapkan.
“Baik.” Sebuah suara lembut menyahut dari arah belakang, suara yang sangat ku kenal. Tapiiiiiiiiiiii,, aku sedikit lupa itu suara siapa. Ku balikkan badan ku, dan ….. aku terkejut. Dev sekarang berada di depan ku ? ya dia ada di kamar ku. Suara itu suara Dev.
‘‘Kamu bingung” tanyanya membuyarkan lamunan ku.
“Tetap saja kau yang dulu, Dev. Dev yang bisa membaca pikiran orang. Dan aku tahu, kamu kesini bersama Ayah baru mu bukan?” Jawab dan tanyaku balik.
“Kamu juga, Acha yang dulu, Acha yang bisa membaca pikiran orang. Acha yang pernah menolakku karena aku dan Acha beda agama. Tapi sekarang aku udah jadi Islam Cha. Aku Islam. Aku diangkat menjadi anak seorang kaum muslim. Dan aku menjadi mu’alaf. Kedatangan ku kesini untuk…..” sehutnya sembari duduk diatas kasur ku, tanpa ada yang memerintah.
“Untuk apa?” tanyaku polos. Aku semakin terpesona akan kejeniusan dan kebijakan Dev dalam mengemukakan suatu pernyataan, ya pernyataan bukan pertanyaan.
“Untuk ….” Kalimatnya terpotong, entah apa yang mau dia katakana, aku  masih belum bisa membaca pikran itu, ya dia menggunakan sebuah mantra hari ini untuk melindungi pikirannya agar aku tidak dapat membacanya..
“Kenapa kamu menutupi pikiran mu sekarang Dev? Hingga aku tak dapat membacanya ? Kamu baru menggunakannya detik-detik ini saja. Karena tadi aku masih dapat membaca pikiran mu.” Potong ku tak tahan untuk mendengarkan hal apa yang sebenarnya mau dia katakannya.
“Hahaha, terserah aku dong, yang penting kamu mandi dulu, lalu temui aku dan ayah di ruang tamu yah. Muachh.” Dev menyambar cepat pertanyaan ku, bangkit dari kasurku lalu… mengecup bibir ku sesaat, dan keluar kamar tanpa berpamitan dengan ku. Itu hal yang di larang agama Dev. Apa kau belum tahu itu. Huh.. :( batin ku kesal, namun tetap saja hati ku berbunga – bunga, karena Dev telah kembali, dan lebih bagusnya, Dev sekarang ISLAM. Satu aliran dengan ku. Ah, aku lupa, aku kan harus mandi lalu menemui Dev dan ayah nya di ruang tamu, batin ku berkata lagi membuyarkan lamunan bunga – bunga ku.
Ku sambar handuk yang menggantung di dekat jendela, ku langkah kan kaki bergegas menuju kamar mandi yang ada dikamarku.
Gebyur.yur.gebyur.

“syalalala..lalalalal…lallalala” dendang ku bernyanyi tanda mengungkapkan hati ku yang sedang berbunga ini.
******************

Tak tik tuk tik tak, begitulah kiranya bunyi derap kaki ku yang menuruni tangga.
“Pagi, Papa, Om, Dev.” Sapa ku seraya menyalami mereka satu persatu.
“Pagi” sahut mereka serempak.
“Langsung aja ya, Om dan Dev kesini bertujuan untuk melamar mu, Cha.”
Tiba tiba suara ayah Dev dan Kalimat itu mengagetkan ku. Deg, aku benar – benar kaget.
“Hmm. Gimana Cha?” Tanya papa pada ku.
“Kalau Acha sih, asal papa setuju, Acha juga setuju. Pa.” sahut Acha malu-malu.
“Yes” sorak Dev.
“Cha, jadi kapan kita nikah nya?”
“Minggu depan.” Sahut Papa Acha cepat..
“Secepat itu Om?”
“Ya. Keberatan?”
“Oh, tentu tidak, Om. Itu malah membuat saya senang.” Kata Dev sembari mengedipkan matanya ke Acha dan memeluknya.
**************************
“Cha..” kata Dev sembari mendekatkan wajahnya ke Acha.
“Iya?” Jawab Acha polos.
“Makasih yah udah mau jadi istri aku.”
“Iya :) YOU’RE MY LOVE, DEV !! ” sahut Acha cepat.
"YOU'RE MY LOVE, TOO, ACHA" timpal Dev tak kalah cepat..

Kasta dalam Cinta, Perlukah ?! -Last Part(5)-

    Terdengar dering memekik mekik, yang sumbernya ternyata telepon rumah. Tak ada yang mengangkat. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Tapi, untung saja masih ada pembantu rumah tangga yang berpetak disana.
          “Ya, Hallo. Keluarga Zahra di sini. Ada yang bisa saya bantu.” Kalimat sopan seperti itulah yang sering diajarkan oleh Zahra kepada semua pelayan dirumahnya.
          “Kami dari pihak Rumah Sakit mengabarkan bahwa Tuan Ray kecelakaan dan sekarang sedang di rawat di Rumah Sakit Soesroatmojo. Terima Kasih.” Ucapan itu tentu saja membuat pembantu rumah tangga mereka tersontak kaget lalu memekik mekik histeris. Keliatannya dia benar-benar shock. Ikatan batinnya terlalu kuat dikarenakan dialah Babysister Ray selagi masih bayi.
          “Ada apa toh Mbok kok histeris, tenang mbok, tenang.” Lantunan kalimat itu berusaha untuk menenangkan Mbok Ipah yang begitu shock akan berita duka yang iya dapat.
          “Itu ... Itu… Hiks Hiks huaaaaaaa” masih saja Mbok Ipah menangis, menangis, dan menangis.
          “Itu opo toh Mbok?”
          “Itu loh, Den Ray… Den Ray… Hiks…Hiks…Huaaaaaaaa”
          “Kenapa dengan Den Ray, Mbok?” Pria ini, pria yang merupakan tukang kebun di keluarga Zahra begitu antusias ingin tahu kelanjutan kalimat apa gerangan yang mampu membuat Mbok Ipah meraung – raung sehisteris ini.
          “ Den Ray Ke..kec..kece..kecel..kecela..kecelak..kecelaka..kecelakaan… hiks huaaaa..” Kalimat itu akhirnya terlontar walaupun masih terpotong-potong.
          “Apa?”
          “Iya, Mas, makanya ayo kita ke RS sekarang.”
          “Ya sudah, tapiiii….”
          “Tapi apa?”
          “Ibu Zahra?”
          “Alah! Apa peduli Nyonya besar itu sama anaknya?” Tepis Mbok Ipah cepat namun kali ini sudah tidak dalam keadaan meraung-raung seperti tadi lagi.
-------------------------------
          “Bang.” Ucap Acha dikala mereka tengah termenung memandang langit biru yang terbentang luas dihiasi bintang-bintang yang bertebaran. Di baringkan kepalanya di bahu Irsyad.
          “Iya, Cha. Kenapa?” Timpal Irsyad lembut seraya membetulkan posisi duduk nya yang sedikit merosot dari sandaran pohon kelapa tempat nya menopang punggung tadi.
          “Bang Irsyad yakin ingin merantau lagi ke Kalimantan?” Intonasi kalimatnya begitu tak bersemangat dan memberi tekanan bahwa Acha tak menyetujui perihal itu.
          “Iya, Cha. Ini demi kita. Abang janji, abang pasti pulang membawa nafkah untuk keluarga kita dan pastinya tetap membawa cinta untuk mu.” Sahutan Irsyad begitu menyentuh dan meyakinkan, hingga mampu membuat Acha menganggukkan kepala tanda bahwa dia akhirnya setuju akan kepergian suaminya untuk mencari nafkah di Pulau Borneo.
------------------------
          Mengapa harus ada kasta dalam cinta? Apakah itu perlu? Cinta ku hampa tanpa Acha? Tapi, Acha bukan milik ku sekarang. Dia milik Irsyad seorang diri. Ify… Gadis itu bukan gadis yang ku suka. Arghh. Lirih Deva dikala ia termenung di balkon kamar tanpa ada yang menemani.
          “Deva!” Terdengar suara khas Zahra di luar sana, menggedor - gedor pintu tak karuan, entah sejak kapan ia berdiri disana, Deva pun tak tahu perihal itu.
          “Apa sih, Ma?!” Pertanyaan itu terlontar cepat dari mulut Deva, menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak mau diganggu oleh siapa pun, termasuk mamanya.
          “Temani Ify nonton, cepat!”
          “Tapi, Ma. Aku Capek!”
          “Kalian hanya duduk di kursi empuk, menikmati acara yang di putar, apa susahnya sih?”
          “Itu susah, Ma! Kenapa nggak mama aja yang nonton sama dia!”
          Prakk
          Deva membanting pintu kamarnya, lalu menguncinya. Dia hempaskan tubuhnya kekasur beraroma Rumah Sakit. Ah, Ya! Rumah Sakit? Tidak, bukan kasurnya, tapiiiiiiii….. Dia sedang termenung akan kedua kakaknya yang sudah satu minggu tak ada kabar setelah pernikahan mereka berlangsung.
          Sebersit pikiran negative melintas di otak Deva, berpikiran yang tidak-tidak terjadi pada kedua kakaknya. Di lihatnya arloji yang melintang di tangan kanan nya. 23.49. Artinya 5 jam sudah dia kembali temenung di tempat tidur ini, setelah perdebatan yang terjadi di depan pintu kamar tadi. Sudah sangat tengah malam, tak mungkin ia pergi keluar untuk menemui kakaknya ataupun hanya menelepon mereka. Namun pikiran negative itu ditepisnya jauh-jauh.
----------------------------------------
          Sang surya sudah terbit di ufuk Timur, memancarkan sinar terik menyilau mata yang sukses membuyarkan Deva dari mimpi-mimpinya semalam. Pagi ini terasa berat baginya. Kembali beraktivitas tanpa ditemani pencerah jiwa. Tak ada lagi Acha disampingnya. Kini hanya ada Ify. Iya, Ify. Hanya ada Ify.
          Untuk menghela nafas, di bentangkannya tangan di gazebo sudut balkon kamarnya, lalu duduk menghadap udara pagi. Siap untuk menyikapi persoalan yang akan di hadapi hari ini. Mungkin lebih baik ataupun buruk.
          Lamunan nya di kagetkan oleh seseorang. Ify. Ify mengagetkannya.
          Tubuh nya bergelayut manja di tubuh Deva, tangannya nakal meraba-raba pipi Deva, mencium nya, lalu memeluknya. Deva semakin risih hal ini.
          “Ify, apaan sih!” Bentakan Deva terasa kasar, kasar sekali menurut Ify.
          “Kenapa sih lu Dev? Kenapa masih seperti ini? Lusa kita akan tunangan? Kapan kamu berubah, Sayang?” Ify mencoba tabah, dilontarkannya beribu-beribu pertanyaan yang harus dijawab Deva. Namun, Apa ? Nihil. Deva tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Dia malah ngeluyur menarik handuk dan berlalu ke kamar mandi seraya mendengus kesal. Entah apa yang membuatnya kesal. Kehadiran Ifykah? Pertanyaan yang dilontarkan Ify terlalu banyakkah? Tidak bisa dia menjawab pertanyaan Ify itu? Belum siap kah batinnya untuk menerima Ify sebagai pengganti Acha? Atau dia belum bisa melupakan Acha? Ataukah dia ingin tetap memiliki Acha seorang diri -dan merebutnya dari Irsyad-? Entahlah. Hanya Deva dan Tuhan yang tahu akan jawaban itu.
-------------------------------------------------
          “Cha, yang pintar ya disini. Abang akan kembali untuk mu :*” Kalimat Irsyad begitu menyesakkan dada Acha. Betapa tidak, suaminya akan kembali merantau ke Pulau Borneo baru saja setelah mereka mengikat janji suci.
          “Ah, abang, bisa aja. Acha kan udah pintar duluan. Hehee. Abang jangan lupa sama Istri ya, Bang.” Kalimat Acha terlontar begitu menusuk jantung. Menandakan dirinya memang tak mau di lupakan oleh suami nya itu.
          “Cha, Cha. Mana ada sih suami lupain istrinya.ckckckck.”
          Hmm, Bang Irsyad mau pergi saja masih saja berguyon. Aku akan selalu kangen kamu, Bang. Batin Acha bersuara.
-------------------------------------------------
          “…. Sekilas Info, ditemukan mayat seorang gadis. Ashilla Zahrantiara itulah nama yang terdeteksi dari tanda pengenal korban. Diduga korban bunuh diri karena depresi. Mutmainah dari Jembatan Ancol melaporkan.”
          “Nyonya, ada telepon. Eh, maksudnya ini, di berita. Nona Shilla masuk berita, Nya.” Teriak Mbok Ipah yang sedang menonton berita, tapi lebih tepatnya membersihkan meja tamu yang baru saja di gunakan oleh clien-clien Zahra, sambil menonton berita.
          “Apa sih, Mbok? Clien saya kan jadi pulang semua setelah mendengar suara pencakar langit mu itu! Heh!” Kata Zahra kesal.
          Dia pikir, suaranya apa nggak kaya pencakar ayam apa? Huh! Coba aku majikan dia pembantu, udah ku pites-pites tuh kepala. Lirih Mpok Ipah kesal.
          “Itu loh Nyonya, Nona Shilla diberitakan tewas bunuh diri di Jembatan Ancol.” Kata Mbok Ipah santai. Iya sangat santai. Ini merupakan kabar duka yang menurut Mbok Ipah kabar suka. Ya karena Shilla merupakan anak majikan yang suka membentak, tidak seperti Ray dan Deva. Menurutnya.
          “Apa?” Zahra memekik keras. Dan…. Pingsan.
          “Aduh, nyusahin aja nih Nyonya, anaknya tewas malah pingsan. Ckckck.” Gumam Mbok Ipah pelan, namun gumamannya masih terdengar Deva yang terlihat baru menuruni tangga dengan gelayutan manja tubuh Ify. Deva terlihat risih sepertinya.
          “Kenapa Tante Zahra pingsan, Mbok?” Tanya Ify sedikit cemas.
          “Itu Non, Nona Shilla tewas bunuh diri di jembatan Ancol.” Jawab Mbok Ipah sekenanya.
          “Mbok jangan ngaco ah.” Timpal Deva cepat tak percaya namun menjadi khawatir akan kebenaran berita itu.
          “Benar Den. Den Ray juga kecelekaan, sekarang dirawat di rumah Sakit Soesroatmojo.” Jawab Mbok Ipah tak kalah cepat masih dengan keadaan menopang tubuh Zahra yang lunglai tak berdaya.
          “Nyonya gimana, Den?” lanjutnya.
          “Antarkan ke kamar ya mbok, saya mau jenguk Ray di rumah Sakit.” Ucap Deva cepat sambil menyambar kunci mobil yang terletak di dekat telepon rumah.
          “Tidak. Mama mau ikut juga ke Rumah Sakit.” Ucap Zahra tiba-tiba. Ternyata dia telah siuman.
          “Apa sih mama pengen ke sana segala? Mama baru aja pingsan.” Kalimat itu terlontar cepat dan bernada membentak.
          “Mama juga mama nya Ray, mama berhak ke sana! Lebih Berhak dari kamu.”
          Diam sejenak, sunyi, namun… “Mama tahu kenapa Kak Shilla tewas bunuh diri? Mama tahu kenapa Ray kecelakaan? Semua karena mama. Mama yang egois mai jodoh-jodohin. Nggak mikir apa giman bathin mereka tersiksa, Ma. Tersiksa. T-E-R-S-I-K-S-A banget ma!” Kata Deva tegas sembari menekankan kata ‘tersiksa’.
          “Diam kamu Deva! Berani kamu membentak Mama!”
          “Mama nggak pernah mikirin anaknya. Egois sama pekerjaan. Dikit-dikit meeting. Dikit-dikit meeting. Nggak bosen apa, Ma? Mama lihat! Apa kata Deva? Kak Shilla rumah tangganya dengan Kak Riko berantakan kan? Itu karena Mama. Karena mama memaksa mereka menikah dengan tidak didasari cinta.  Mama lihat Ray? Ray kecelakaan juga karena memikirkan itu, Ma. Mereka tersiksa. Begitu juga aku, Ma.” Kata Deva melontarkan unek-unek yang di simpannya dalam-dalam. Kini memang saat yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek ini. Menurut nya.
          “Drrt..Drrt..” terdengar handphone Zahra bordering.
          “Hallo.. Hah? Apa?... Oh, tidak mungkin ini?... Tidak!.. Aku tidak percaya?... Bagaimana bisa?... Ya, sudah… Apa?... Menutup Perusahaan?... Karena saham habis?.... Ya sudah. PHK semua karyawan!” Amarah Zahra begitu memuncak mendengar kabar itu. Lagi-lagi dia pingsan.
--------------------------------
          Gadis mungil itu kini terlihat sendiri, menatap sinar metari yang hendak meninggalkan bumi. Tak ada lelaki lagi yang menemani. Bang Irsyad? Merantu. Deva? Tak mungkin. Buang jauh-jauh nama itu. Lirihnya.
          “Kenapa kamu, Cha? Kangen dengan Irsyad kah?” Ucap Ozy yang sukses membuat nya tersontak kaget.
          “Aku temani menatap sunset ya.” Lanjutnya seraya meminta sesuatu. Acha hanya mengangguk perihal setuju.
          “Make a wish, Cha. Sebelum sunset di 2010 ini tenggelam.” Titah nya cepat saat mentari menggulung pergi dengan terpaan gulungan ombak dikejauhan.
          “Iya:)” ucap Acha sambil member senyum di kedua ujung bibinya.
--------------------------------------
          Terdengar isak tangis menyeruak di koridor Rumah Sakit. Terlihat jelas di san Keluarga besar Zahra sedang berduka akan kehilangan Shilla, kecelakaannya Ray, bangkrut nya perusahaa merekam ditambah lagi dengan disitanya asset berharga milik keluarga Zahra. Tiba-tiba datang segerombolan pejabat menghampiri mereka. H, tidak. Tidak segerombolan, tetapi hanya dua orang. Lelaki dan Wanita. Siapa mereka ?
          “Saya dengar perusahaan Anda melanda kebangkrutan, Nyonya Besar?!” kata wanita itu mengawali pembicaraan akan kedatangannya kemari. Kalimatnya pedas dan menyinggung hati.
          “Dan kami kemari hanya ingin menarik Ify dari Anda. Ups, dari keluarga Anda tentunya. Kami tidak mau menikahkan anak kami dengan orang miskin seperti Anda! Ups, cuih! Ma’af ya Nyonya, Permisi!” Lanjut lelaki yang berdiri tepat disamping Zahra. Oh, Orang tua Ify rupanya. Mereka datang hanya untuk membatalkan pertunangan ternyata. Hanya? Oh, tidak. Itu pukulan yang berat yang baru saja diterima Zahra sekarang ini. Dia menjerit tak karuan layaknya orang gila. Hingga Deva dan Mbok Ipah terpaksa membanyanya ke Rumah Sakit Jiwa. Sedangkan Ray seminggu setelah itu sudah berangsur membaik. Kini mereka benar-benar jatuh miskin. Deva, Ray dan Mbok Ipah tinggal di rumah Mbok Ipah di Desa, sedangkan Zahra harus menerima takdirnya di Rumah Sakit Jiwa. Mungkin ini memang jalan Tuhan dalam kehidupan nya yang tamak dan angkuh selama ini.
---------------------
        Beberapa tahun lamanya sudah Deva dan Ray luntang lantung di jalanan meraih rezeki, walau mereka tinggal bersama Mbok Ipah, tetap saja mereka bekerja. Ya seperti ini lah kerjaan mereka. Pengemis. Hingga suatu ketika dipanas yang terik. Ketika iya menjajaki pasir putih di pantai Ancol. Mengais-ngais sampah. Mengais barang yang masih bisa dijual atau bahkan dipakai. Tak sengaja Deva yang berlari membawa secangkir minuman untuk kakaknya, menabrak seorang gadis jelita yang tengah melamun dipinggir pantai hendak bangun berdiri. Tumpah lah isi minuman tadi. Deva yang sedikit mengenali wajah gadis ini, tersinyum simpul dan menyapa.
          “Acha ya?” tanyanya manis kala itu.
          “Eh.em. Ma’af Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda.” Jawab gadis itu yang sontak membuat Deva kaget. Akankah Acha tidak mengenalinya? Melupakannya begitu saja? Atau tidak mengenalinya karena berpakaian lusuh seperti ini? Sedangkan Acha? Dia berpakaian glamor layaknya putri yang menunggu pangerannya? Aku kah pangeran itu? Ah, tidak! Aku lelaki jalang yang hidup membabi buta, meraih rezeki dari mengais sampah, sungguh hina. Lirih Deva panjang.
          “Ah, kamu, Cha. Aku Deva. Masa kamu lupa sama aku?” Tanya Deva kemudian setelah dia terbangun dari lamunannya. Belum sempat pertanyaannya dijawab Acha. Datang seorang lelaki kebulu-bulean yang sangat menawan, pakaiannya sederhana namun terlihat rapi dan bersih, tidak seperti dirinya dan Ray, -yang lagi lagi-lusuh.
          “Siapa dia, Cha?” tanyanya kepada Acha.
          “Entah lah, Bang. Acha juga tidak kenal. Katanya namanya Deva. Deva siapa ya Bang?” jawab Acha panjang lebar.
          “Ya sudahlah. Tak usah dipikirkan. Ayo kita pergi. Permisi.” Ucapnya ramah. Kemudian pergi meninggalkan Deva dan Ray yang termenung menatap kepergian mereka. Punggung mereka sudah ditelan bumi. Tak ada lagi mereka di hadapan Deva dan Ray saat ini.
          “Sudahlah, Dev. Acha sudah tidak mengenal kita. Ayo, bekerja lagi.” Ajak Ray yang sukses memecah keheningan kala itu.
          “Arrrgggghhh…   KAU JAHAT CHA !!. MENGAPA HARUS ADA KASTA DALAM CINTA, KALA ITU?” jerit Deva keras memecah kesunyian pantai Ancol dikala senja.

-The End-

by : Neneng (kelompok 1)

Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL-

Neneng Novesha Dewi

" Kasta dalam Cinta. Perlukah ?! " -part 4-


 -Part 4-

Lagi-lagi shilla pulang ke rumah suaminya larut malam seperti hari ini. Ia mengendap-ngendap bagai maling, agar tidak ketahuan oleh suaminya.

Tap. Tiba-tiba lampu yang ada di ruang tamu menyala dengan sendirinya, langkah shilla pun lantas terhenti.

"dari mana aja kamu ?" tegur riko suaminya, berlagak seperti satpam ia bersiaga menghadang istrinya yang kali ini ketahuan pulang larut malam.

"bukan urusan kamu riko !" tekan shilla kepadanya, ia tak peduli jika menjadi istri durhaka kepada suami, karena ia sudah tak tahan lagi dengan riko yang protektif terhadapnya.

"bukan urusanku kamu bilang ?" tanya riko dalam keadaan amarah diujung tanduk.

Plakk.. Tamparan keras mendarat lepas di pipi kanan shilla yang mulus.

"riko, aku minta cerai dari kamu !" tanpa sadar, dengan lancarnya shilla berucap sedemikian, karena rasa sakit yang timbul akibat tamparan tsb..

"apa cerai ?" riko seolah tak percaya..

"iya." jawab shilla mantab

"baiklah kalo itu maumu, aku akan mengabulkannya, toh dalam pernikahan kita. Tak ada yang namanya cinta, buat apa lagi dipertahankan ? Fine, kita cerai." talak riko, secara agama mereka telah resmi dinyatakan bercerai.. Karena riko telah menalaknya.. Tinggallah diajukan ke pengadilan agar diproses secara hukum yang berlaku..

Setelah riko pergi menuju ke kamarnya. Air mata shilla langsung tumpah, berderai membasahi kedua pipinya. Ia merasa terpukul karena tak menyangka rumah tangganya hancur seketika hanya dalam waktu sesingkat ini..

Isakan tangis tertahan mengiringi malam gelap gulita, segelap hati shilla.. Andainya tak ada kasta dalam cinta, perjodohan ini tak akan mungkin terjadi!

***

acha terbangun dari tidur lelapnya semalam.. Menguap di pagi hari sudah menjadi kebiasaannya.

Samar-samar ia mendengar suara irsyad sedang mengobrol dengan keluarganya di ruang tamu..

Nalurinya pun membawanya untuk sekedar menengok mereka yang sudah terbangun lebih awal darinya.

"eh acha, kamu udah bangun ?" tegur irsyad, sambil mengulas senyum manisnya itu..
Acha menatap keluarganya penuh kebingungan. Apa gerangan yang membuat mereka senyam-senyum gaje seperti ini ?

"cha kamu sibuk pagi ini ?" tanya irsyad, gelengan mewakili jawaban acha.
"ikut aku yuk !" ajaknya, lalu menyeret tangan acha untuk ikut bersamanya.

"eh syad tunggu, aku mandi dulu."

"udah cha nggak usah mandi, gitu udah cantik kok." sahut ozy

"kakak." perotes acha

namun keburu irsyad membawanya keluar, ozy dan kedua orang tuanya pun hanya tersenyum melihat kejadian ini..
Mereka senang,, senang dengan obrolan mereka tadi dengan irsyad sebelum acha terbangun..

***

ray tetap berjalan menapaki jalan raya yang ramai dipadati kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang..

Mobilnya mogok tadi malam, terpaksa ia berjalan kaki.. Bisa saja ia menyetop taxi maupun angkotan umum yang lewat, namun keinginan itu tak sedikit pun muncul di benaknya.

Ia tak ingin lebih cepat datang ke rumah istrinya.. Dalam hatinya masih terukir satu nama yaitu olivia gadis sederhana yang ia cinta, namun cintanya yang agung terpaksa terhalang dinding pemisah. Iya, ia telah mempunyai istri sekarang.. Olivia yang sebenarnya telah menjadi kekasihnya sebelum statusnya berubah tidak lajang lagi. Akhirnya putus di tengah jalan, karena tak mendapat restu dari mamanya..

Oh Tuhan, perlukah kasta dalam cinta ?!

Seandainya ray boleh memilih ia akan memilih untuk terlahir menjadi orang yang sederhana namun penuh cinta dan kasih dalam kehidupannya.

Ia rela hidup di gubuk derita asal mengarungi bahtera bersama orang yang ia cinta, olivia.

Sekejap, ia berfikir untuk melayangkan surat cerai kepada istrinya.

Iya, ini akan ia lakukan. Ray pun menyetop taxi, ia akan mengurus surat cerainya dengan Reira di mahkama agung. Saat ini juga..

***

acha dan irsyad berhadapan, saling pandang dengan penghayatan yang mendalam.

Irsyad telah melamar acha, dan sekarang ia sedang menunggu jawaban darinya. Ternyata maksud irsyad datang pagi-pagi kerumah acha, inilah tujuannya.

'mungkin sekarang waktunya, untuk aku benar-benar melepas kamu mas deva' batin acha
"iya aku mau syad." jawab acha pada akhirnya.

"yang bener cha ?" tanya irsyat meyakinkan pendengarannya. Acha mengangguk dua kali.

"makasih cha." girang irsyad, dan tanpa rasa canggung ia langsung memeluk tubuh acha erat.. Akhirnya Kini impian untuk merubah statusnya dengan acha masuk ke taraf yang lebih jauh pun tercapai.. Bahagianya pun tak terkira..

Acha tersenyum pahit, ia akan mencoba untuk mengisi hatinya dengan yang lain.. Kelak, pasti ia akan terbiasa..

Irsyad melepas pelukannya perlahan. Diiringi janji suci, ia memakaikan sebuah cincin emas putih dihiasi permata biru di jari manis calon istrinya.

Sekali lagi irsyad memeluk acha erat mendekap acha dalam dadanya.. Tak ingin ia melepaskannya.

"aku sayang kamu cha." gumannya tepat ditelinga acha,, acha pun perlahan menggaitkan tangannya dipinggang irsyad bertujuan untuk membalas pelukannya.

Cemburu menguras hati deva,,
ternyata ia sudah lama memperhatikan acha dan seorang pemuda tampan di hadapannya.

"semoga kamu bahagia cha." lantun deva.. Kini ia pun menjadi lega, karena acha jatuh ke tangan orang yang lebih pantas mendapatkan cintanya.. Keputusannya untuk menentang perjodohannya dengan ify, berangsur menjadi persetujuan..

Jalan kita sudah tak sama.. Kita berbeda..
Cinta kita biarkan bersemi di hati, walau kita tak lagi saling memiliki. Itulah hakekat sebuah cinta..

***

persidangan perceraian shilla dan riko telah usai, tanpa sepengetahuan kedua orang tua belah pihak.

Shilla tak sanggup lagi menahan beban penderitaannya. Ia takut memberi tahu perihal tsb kepada sang mama.. Ia belum sanggup.

Ia turun dari mobilnya, tepat dipinggir jembatan layang. Ia menepi, menengok air sungai dengan arus deras di hadapannya itu.

"lebih baik aku mati, dari pada di penggal sama mama." gumannya, lalu terjun bebas ke sungai.. Tubuhnya pun terseret arus tanpa ada yang mengetahuinya.

***

tok.tok.tok..

Ray mengetuk pintu sebuah rumah yang ia hampiri, se sudah mengirim surat cerainya di kediaman istrinya.

Tak lama seseorang membukakan pintu.

"ray, kamu.." kejut orang tsb.

"olivia, ayo kita pergi." ajak ray

"tapi ray."

"aku mohon. Kamu cinta kan sama aku ? Kalo kamu beneran cinta dan sayang sama aku, kamu ikut aku, kita pergi jauh dari sini."

"maaf ray."

"liv.." mohon ray

"jangan paksa aku." olivia langsung menutup pintu rumahnya..

"liv, oliv. Buka pintunya.." pinta ray, hancur lebur hatinya ketika mendengar kalimat maaf yang menandakan penolakan secara tak langsung dari olivia.

Setitik bening kristal pun perlahan jatuh, membasahi ke dua pipi ray, hilanglah harapannya, hilanglah gairah hidupnya.

Ia pun memutuskan untuk pergi. Bagaimanapun juga ia tak boleh egois dan memaksa olivia untuk siap menderita dengannya.

Tiba-tiba ada orang tua yang menyeberang, karena remnya blong. Ray pun membanting stirnya ke kiri jalan.

Brakk..

Mobil ray menghantam pohon di hadapannya.. Dahinya membentur stir, darah segar pun mengalir perlahan dari dahinya tsb.

Nasib hidupnya pun masih dipertanyakan ?

***

"shilla. Ray." guman zahra yang tiba-tiba mendapatkan firasat buruk..

Ia beranjak dari kursi panasnya, menghadap ke cendela, menatap gedung-gedung pecakar langit yang ada di luar sana.

Tok. Tok.

"masuk."

orang yang mengetuk pintu ruangannya pun masuk.

"nyonya presdil.. Ada kabar buruk, semua clien memutuskan kerja sama kita secara sepihak, dan.. Kemungkinan terbesar perusahaan ini akan diambang krisis alias gulur tikar nyonya." tutur orang tsb yang ternyata adalah tangan kanannya zahra.

"apa ?" shock zahra

"bagaimana bisa semua clien membatalkan kerja sama ?" tanya zahra yang seolah tak percaya.

"mereka komplaint dengan kebijakan perusahaan yang dianggap kurang efisien."

zahra terdiam, mungkin ini pukulan terhebat hidupnya dari tuhan.

Sekarang adakah jalan keluar yang bisa mengatasi masalah perusahaannya ?

Bagaimana dengan hidupnya nanti jika ia jatuh miskin ?

Bagaimana dengan nasib para karyawan dan pegawainya ?

Belum lagi nasib shilla dan ray yang tidak diketahui hidupnya ?

Cinta deva dan acha yang terhalang kasta ?

Kejutan apa lagi yang akan diujikan tuhan kepada keluarga zahra ?

Tak bisa menebak, hanya tuhanlah yang mengetahuinya.


To be continue...

***


By : Wulan (Kelompok 1)


Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL-

Woelian Alvinovela Sindhunata (Pecinta 'Cakka Alvin')

" Kasta dalam Cinta. Perlukah ?! " -part 3-

-Part 3-

Semakin hari Acha kehilangan semangat hidupnya,bahkan senyum manisnya pun jarang tersungging dari bibir mungilnya.
"kenapa kamu cha ?" pertanyaan itu sering terlontar dari keluarganya. "memang kenapa aku ?" Acha balik bertanya pada dirinya sendiri.Sungguh muna, Acha sebenarnya begitu mengerti alasannya menjadi seperti ini,namun Acha tak ingin membicarakannya lagi,takut membebani pikiran keluarga,terutama mamah.

"mas Deva.." desah Acha pelan , sebelum dia memutuskan untuk tidak menyebut nama itu lagi. Mustahil jika Acha benar benar memendam rasa itu, menguburnya dalam dalam, namun setidaknya dia telah berusaha, meskipun menyakitkan.
"aku bukan gadis yang lemah,aku bisa tanpamu! Semangat cha..Semangat"
***

Bau embun pagi menyeruak, dinginnya udara menyapa kulit Acha. Dengan tekat yang kuat dan semangat yang baru Acha kembali berkutat dengan rutinitasnya. "pagi bu.." Acha menyapa ramah pada tetangga yg berpapasan. Acha menebarkan senyumnya di sepanjang perjalanan menuju pantai.

Suasana pantai terlihat tak seperti biasa. Acha memandang sekeliling sambil memilah milah ikan sesuai jenisnya, terlihat orang orang berkerumun memandang lepas ke arah pantai, sepertinya ada sesuatu yang mereka nantikan. Tiba tiba dari kejauhan nampak kapal besar,Kapal itu mewah, tak seperti kapal pengangkut ikan yang lusuh dan bau. Orang orang di pesisir pantai antusias menunggu kapal itu berlabuh. Setelah menunggu sekitar 5 menit. Sesosok pemuda dan beberapa orang yang telah berumur berjajar rapi. Acha mendongakkan kepalanya,dengan tak mengubah posisinya mendekat ke arah pemuda tersebut. Pemuda dan orang orang di pesisir pantai saling berjabat tangan,sesekali berpelukan. Terlihat seperti beberapa tahun tak bertemu. Pemuda itu memunggungi penglihatan Acha, namun Acha telah menangkap sedikit raut kebahagiaan memancar, senyum itu... Sepertinya tak asing. "bukan.." acha menggelengkan kepala, tanda tak menyetujui akan pikirannya sendiri.

...

"Acha di pantai nak, dia menghabiskan separoh waktunya disana, ya.. Sambil berjualan ikan, membantu pekerjaan ibu. Karena dia tak lama berhenti dari pekerjaannya" mamah bercerita dan diakhiri dengan tundukan lesu.
Mereka berbincang bincang , sepertinya ada saja topik yang mereka bicarakan, di pondok tua itu. Terlihat akrab, dan saling terbuka.
"sudah.. Kita lanjutkan lain waktu,susul dia disana nak" perintah mamah.

***

Terpaan panas matahari menyentuh kulit Acha yang kekuningan, sesekali
tangannya tak henti membasuh keringat yang mengalir di pelipisnya. Acha berdiri sempoyongan menuju pesisir pantai, dia menjatuhkan tubuhnya di pasir yang empuk, kaki jenjangnya dia luruskan, membiarkan deburan ombak membasahi kakinya. Berhenti sejenak dari pekerjaannya, ikan ikan di bascom dia tinggalkan begitu saja.

"hey..." . Teguran yang sontak membuat Acha kaget, namun nada tegurannya terdengar ramah. Acha menoleh ke asal suara,dan mereka saling bertatapan. Hening.....

"hey cha.. Disapa kok diem aja" kata sesosok pemuda yang sekarang sudah duduk di samping Acha,dengan posisi yang sama. Mimik muka Acha tampak bingung. "eh eh.. Iya.. Kamu siapa ?"
Pemuda itu lantas tertawa, "hah ? Secepat itu kamu lupakan aku cha ? Huu mentang mentang dulu aku hitam,dekil" pemuda itu mulai menjejalkan pertanyaan yang akrab terdengar. "emangnya aku kenal kamu ?" Acha semakin bingung, pemuda ini pemuda yang tadi pagi keluar dari kapal. Acha mengamati wajah pemuda itu, firasatnya kali ini yakin takkan meleset. "ihh..Mandangin aku segitunya sih.." pemuda itu berkata dengan nada menggoda. "eh tunggu, kamu kok seperti temen kecil ku dulu, mirip deh cuma temen ku itu...." Acha menggantungkan kata katanya. "kenapa hitam ? Yaelah cha kan udah gede, gak mandi di sungai lagi, gak main lumpur, jarang berjemur di pantai, tapi kalau urusan mengoleksi barang butut, tetep kok" pemuda itu terkekeh. Acha spontan melihat ke arah kaki pemuda itu, ada sandal jepit disana. Acha tersenyum,dan mengangguk pelan, mengakui kehebatan firasatnya dari awal. "Irsyaaad ! ! !" Acha berteriak sambil menggoyangkan pundak pemuda itu. "Acha... Peri cantikku.. Teman kecilku ohh kangen sekali aku padamu cha" Pemuda itu tak kalah histeris, di peluknya teman kecil nya dulu, satu satunya alasan pemuda itu mendatangi Desa ini. "ahh kamu syad.. Beda banget lo, jadi pangling aku" kata Acha malu malu. "woyadong, kenapa ganteng ya ?" kata Irsyad sambil melepas pelan pelan pelukannya. Acha sejenak terdiam,mengamati setiap lekuk perubahan dari Irsyad. "hmmm.. Bolehlah.. Tapi sandal jepit bututmu itu.. Sepertinya tidak pas" Acha memberanikan berkomentar. "lupa ya sama janjiku dulu? Janji kalo aku udah sukses , aku akan balik kesini,berbagi kebahagiaan sama kamu cha... Tentunya dengan sandal jepit ini" ujar Irsyad. "ahh kamu nanggepinnya serius, padahal waktu itu cuma becanda hihi" Acha tersenyum geli sambil memainkan kakinya.
"tapi sandal itu berharga buatku cha,jadi pas kamu nyuruh aku buat nyimpan itu sandal ya aku turutin".

"berharga ?"
"satu satunya pemberianmu, waktu kakiku luka. Ya kan ? So sweet dah neng Acha"

Acha tersenyum lalu mencubit lengan Irsyad.Irsyad tak mau kalah, dia membalas mencubit pipi Acha. Mereka mengulang kembali masa masa kecil dulu, masa dimana selalu bahagia, tertawa, bermain bersama. Namun rasa canggung tak dapat terelakkan, dan setelah merasakan itu mereka terdiam, lalu kembali becanda lagi. Tenggelamnya matahari mengisyaratkan mereka untuk berpisah, semalam.... Dan besok akan lebih indah daripada hari ini.
***
"mamah.. mamah sini deh, Acha mau cerita" kata Acha sambil membenarkan letak poninya.
"apa sayang ?"
"irsyad mah ? Anak pak maman , dia pulang kampung ?"
"mamah udah tau"
"loh ? Tau darimana mah?"
"dia kan tadi pagi kesini nyariin kamu, yaudah mamah suruh nyusul kamu ke pantai, tadi nak Irsyad nemuin kamu kan ?"
"iya "
"apa yang diperbuat nak Irsyad ke kamu,hebat bisa buat kamu ceria seperti ini ?"
"mmmh.. Ada deh mah" Acha berlarian ke kamarnya.
Acha membuka jendela dan menopang dagunya. Kebiasaan yang tak terewatkan, melihat langit di malam hari, gelap.. ''Andai saja tak ada Bintang bintang di langit sana, tak akan ada kedamaian tatkala kita menatap langit" kata kata itu tiba tiba terngiang di telinga Acha. "seperti kamu cha... Kalau tak ada kamu, hatiku takkan damai.. Tetaplah menjadi bintang di hatiku cha.." setelah itu tak ada jawaban dari Acha,dia telah melayang dalam pelukan hangat Deva.
"tidak..TIDAK ! ! !" Acha menggelengkan kepalanya,menjambak rambutnya sendiri. Kenapa di setiap kata,setiap perbuatan, selalu terkenang akan Deva. Acha membanting jendelanya, dan terisak sambil membenamkan kepalanya di bantal. "aku melanggar janjiku Tuhan..Baru tadi siang,aku kembali merasakan indahnya kebahagiaan namun kenapa harus teringat pada mas Deva" bulir bulir air mata Acha semakin deras mengalir melalu pipi yang selalu tampak merona merah meskipun tanpa blass on. Untung rasa kantuk Acha mampu mengalahkan gemuruh dalam hatinya.

Ku kira benar.. Kau kira salah
kita berbeda tak pernah sama.. Tak pernah searah.....

***

"gue kan udah bilang, jangan keluar sebelum gue pulang,nunggu sebentar aja gak bisa! Pergi kemana lo shill?"
"kan udah gue bilang, tadi malem itu ada Arisan, gue ketuanya masak telat apa kata temen temen?"
"halah alesan! Bilang aja habis tidur sama si Roy, sampe lupa gak pulang"
"eh jaga mulut lo Riko.. Gue harus hormat gimana sama lo,kalo lo sendiri selingkuh"
"jadi lo balas dendam ceritanya ? Kan waktu itu gue udah minta maaf,dan kita sepakat untuk memperbaiki rumah tangga kita,ayo pulang..Ntar kalo mama tau kita bertengkar gimana ?" riko menyeret shilla untuk mengajaknya pulang,namun Shilla tak mau.

TINNN....
Suara klakson Nyonya Zahra,terdengar memasuki gerbang utama.
Riko dan Shilla tampak tegang,namun tak sedikitpun mengurangi amarah diantara mereka.

"loh sejak kapan kalian disini, ayo masuk" ajak nyonya Zahra, disampingnya ada Ify yang menenteng banyak belanjaan. Riko dan Shilla saling bertatapan. Shilla sebenarnya sudah berniat menumpahkan permasalahan rumah tangganya pada ibunya, namun dia merasa khawatir..khawatir akan mempengaruhi kesehatan Nyonya Zahra, khawatir akan menunda acara pertunangan adiknya. "ayo fy, masuk langsung ke kamar Deva aja sana"
"ok tante".
Ify berjalan menaiki tangga bak pragawati, meliak liuk indah.

"apa ?"
"yaelah jutek amat Dev.. Gue punya surprize buat lo, boleh masuk kan ?"
"udah sini aja, buruan gih"
Ify membuka tas motif bulu harimau favoritenya. "TARRAAA"Ify menunjukkan sepasang cincin berlian. Deva menatap cincin itu datar, "well ?". Ify hendak menggelanjut manja di pundak Deva, namun Deva buru buru menangkis tangan Ify. Untuk yang ke sekian kalinya, Deva memberikan ultimatum jika dia tak pernah berhasrat untuk menjalin cinta dengan Ify. Dan kali ini, tampaknya kata kata Deva terlalu menyakiti perasaan Ify hingga menangis sesenggukan.

"kali ini, Deva tidak bisa menuruti permintaan mama,Deva minta maaf". Nyonya Zahra menatap Deva dalam.. "hanya karena gadis itu ? Kau tak menuruti permintaan mama ?
"
"Acha berarti bagi Deva ma.. Lebih berharga..."
"lebih berharga daripada mama ? "
"bukan..Dari dia.. "
"sekali ini saja,turuti permintaan mama"
"permintaan yang menentukan masa depan Deva, bukan main main ma"
"kamu kira mama main main memilih pasangan untukmu ?"
"tapi itu pilihan yang bodoh !" Deva menunduk
"kalau tak ada mama, kau tak ada di Dunia ini Deva ! Kalau begini,mama jadi menyesal melahirkanmu"
"bukan maksud Deva seperti itu.."
"Jangan Membangkang ! Siapkan mentalmu untuk 2 hari lagi" nyonya Zahra berlalu begitu saja tanpa mendengarkan suara hati anak lelakinya.

to be continue,,,


By : Rediana (Kelompok 1)


Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL-

Rediana Ree-boo Ready's (Rayreadydevasocietyfz-sejati)

" Kasta dalam Cinta. Perlukah ?! " -part 2-

- Part 2-

Malamnya Deva masih ingin terus berjuang untuk tetap menyakini Acha agar mereka bisa bersama lagi, malam sekitar pukul 8.00 Deva datang lagi ke pondok mungil yang di huni oleh Acha dan keluarga, Deva datang dengan membawa seikat bunga mawar dan berpakaian rapih, sesampainya ia tiba di pondok mungil tersebut, terlihat Acha sedang senyum riang bersama keluarganya, entah kenapa Deva yang sedang berjalan santai seketika sesaat melihat kejadian tersebut ia berhenti, ia menghilangkan niatnya untuk memohon lagi kepada Acha, karena dia tidak mau melihat senyumanya Acha yang manis pudar Karena Deva datang.
Seketika ia sedang memperhatikan Acha yang sedang tersenyum riang, tiba-tiba ada yang memukul pundak belkangnya tanda menegur, dan berkata pelan.
“Hey Dev, kamu ngapain di sini, kamu ga masuk aja, apa mau kakak panggilin Acha nya?” tegur kakaknya Acha sambil memukul pelan pundaknya Deva tanda menegur.
“Eh kakak ga usah kak, aku juga mau pulang, aku buru-buru kak,” jawab Deva sambil menoleh kea rah kakanya Acha.
“Lho, kenapa buru-buru?,” tanya Ozy kakanya Acha.
“Enggak kenapa knapa kak, sudah ya kak, aku pulang dulu,” pamit Deva sambil meninggalkan kakanya Acha.
Sesaat Deva meninggalkan Ozy kakaknya Acha, lalu Ozy Masuk ke dalam rumah dan berbicara kepada Acha semua apa yang terjadi padanya saat tadi.
“Cha, kok kamu tadi ga keluar,” Tanya Ozy awal pembicaraan.
“Hah, untuk apa kak, memang ada apa di luar tadi?,” kaget Acha karena tiba-tiba kakanya berbicara seperti itu.
“Hah, kamu tidak tahu, tadi kan si Deva datang, dia rapih banget, dan kaka liat dia bawa bunga, mungkin untumu,” perjelasan dari Ozy.
Sesaat Ozy berbicara seperti itu, Acha langsung bengong dan berfikir, lalu berkata dalam hatinya.
“Hah, Mas Deva datang, ngapain ya, maafkan aku ya Mas, sebenarnya aku sayang sama kamu, tetapi apa daya, kasta kita memang berbeda, jadi tak lah ada harapan untuk kita dapat bersama lagi,” lamunan murung dari Acha dan bicaranya dalam hatinya.
Dan sesaat Acha sedang melamun, tiba-tiba kakanya menggoyangkan telapak tanganya ke depan wajahnya.
“Cha, hey Cha,,” tegur Ozy sambil menggoyangkan telapak tanganya tepat di depan wajahnya Acha.
“Heh, eh iya kak, ga ko ka gak kenapa kenapa, sudah ya kak, aku mau ke kamar dulu, sudah malam,” kaget Acha, dan langsung meninggalkan Ozy menuju kamarnya.
Sesaat Acha sedang berada di kamarnya, ia langsung membuka jendela kecil nya yang terbuat dari kayu yang sederhana, ia berdiri sambil merangkul dagunya di selah jendelanya dan berbicara pada bintang, ia megngutarakan semua apa yang terjadi padanya saat ini, ia ingin terus tetap bersama Deva, tetapi apalah daya, takdir kasta tidak menentukan mereka berdua berjodoh.
“Bintang,Acha ingin tetap bersama Mas Deva, tapi kenapa kita di takdirkan berbeda, apakah cinta perlu adanya yang namanya kasta?, aku gak mau bintang jika Mas Deva memilihku, tetapi dia berdurhaka terhadap ibunya, lebih baik aku relakan saja Mas Deva demi ibunya itu,” curahan hatinya Acha terhadap sahabat sejatinya bintang yang bersinar setiap malam.
***
Pagi pun datang, matahari tersenyum, burung berkicau, udara yang segar, terlihat Acha sedang membantu ibunya yang sedang menjual ikan hasil tangkapan para nelayan di pinggiran pantai, sesaat ia sedang berjualan, tiba-tiba ibunya Deva datang dengan membawa sesosok perempuan cantik tinggi, rambutnya panjang berikal yang ber hair style, bajunya bagus, berbeda sekali dengan Acha yang berpenampilan kusam. Dan lalu ibu Zahra tersenyum sinis dan berbicara menyindir terhadap Acha.
“Hey, bau sekali ya tempat ini, kenapa ya anak saya tertarik pada anak miskin yang kusam seperti anak anda,” kata mengejek Nyonya Zahra terhadap Acha dan sang Ibunda.
“Eh Nyonya Zahra yang saya hormati, saya memang miskin, tetapi hati saya murni sangat kaya tidak seperti anda, yang berharta banyak tetapi hatinya tidak sebanding dengan kehidupannya,” balasan sinis dan bentak tidak terima dari Acha.
“Hey kamu lancang sekali ya, berkata itu dengan saya, anda tidak tahu anda sedang berhadapan dengan siapa, tutup mulut anda ya,” bentak sang Ibunda dari Deva, dan menujukan telunjuknya kea rah mukanya Acha.
Acha pun masih saja membentak Zahra, karena ia tidak menerima jika ia dan keluarganya di hina sperti itu. Dan gerumungan pasar yang ramai seketika pandangannya tertuju kepada Acha, keluarganya dan Zahra.
“Nyonya, maksud Nyonya datang ke sini untuk apa, hanya untuk menghina keluarga kami, iya,” tanggepan yang di bentakan oleh Acha untuk Nyonya besar Zahra.
“Saya ke sini hanya unuk memperingatkan kamu yah agar jauhilah Deva, karena Deva sudah saya kasih pasangan yang cocok untuknya, yang lebih baik dari kamu, lebih punya martabat, tidak miskin seperti anda,” perjelas Zahra, sambil memperkenalkan Ify perempuan yang di jodohkan Zahra untuk Deva.
Acha seketika langsung kaget, ia langsung menundukan kepalanya, mukanya langsung lemas, dan lalu tiba-tiba, ibunya Acha datang dengan membawa senampan ikan kering dan di guyurnya ke pada diri Zahra dan langsung tanpa segan-segan membentaknya.
“Nyonya, jika Nyonya ke sini hanya untuk menghina kami, silahkan pintu keluar di buka lebar untuk Nyonya, dan jangan sekali kali anda menghina kami dengan mulut anda yang kotor itu, silahkan anda keluar dari area kami,” usiran mamahnya Acha sambil mengguyurkan ikan kering kea rah badannya Zahra dan menunjukan tangannya kea rah pintu keluar.
Zahra kesal dan langsung pergi tetapi masih sempat mengutarakan sepatah kata.
“Wow, ada apa ini, oke saya pergi, tetapi semua yang kita inginin bisa saya lakukan, liat nanti, ayo Fy kita pulang,” ancaman yang di keluarkan dari mulutnya Zahra untuk keluarga Acha, dan langsung mengajak Ify pulang dan meninggalkan tempat tersebut.
Tetapi keluarganya Acha tidak peduli, dia tidak takut denagn ancamanya, lalu mamahnya Acha teriak.
“Terserah, keluarga kami akan kuat, dan tidak akan takut dengan ancaman dari manapun, ingat itu,” teriakan dari mamahnya Acha.
“Sudahlah mah, hiraukan saja dia, kita tidak bisa bersaing dengan orang terkaya seperti dia, dia bukan saingan kita mah, sudah ya mah, Acha mau ke dalam dulu sebentar,” kata Acha sambil menenangkan diri mamahnya dan sambil berjalan menuju rumah sambil membawa nampan ikan.
Acha berjalan sambil melamun, kepalanya menunduk saja ke bawah, kakinya berjalan sangat lamban, dan ia memikirkan sesuatu yang sangat mengganjal pikirannya, ia berbicara dalam hati.
“Tadi aku tidak salah dengar ya, kalau Mas Deva sudah di jodohin sama ibunya?, sudahlah aku harus menerima kenyataan ini, aku harus kuat, mungkin ia bukan jodoh yang sebenarnya untuku, ya Tuhan, tolong kasih kekuatan untukku,” katanya dalam hati.
Di tengah perjalanan Acha pulang, tiba-tiba dia menabrak sesosok pria di depannya, dan ternyata ia menabrak kakanya, kakanya pun kaget, dan langsung berkata.
“Kenapa kamu Cha, kok murung sekali, kamu sedang ada masalah,” tegur Ozy .
Acha pun hanya menggelengkan kepalanya saja.
“Sudahlah sabar ya Cha, semua pasti ada jalan keluarnya,” myakinkan Acha agar Acha semangat itulah yang hanya bisa Ozy lakukan.
Dan setelah itu mereka berdua berjalan bersama ke depan pondok mungilnya, dan Acha menceritakan semua kejadiannya tadi yang ia alami dengan ibunya kepada kakaknya Ozy, Acha menceritakannya dengan expresi yang sedih, dan mengucurkan air mata, kakaknya berusaha untuk menenangi hatinya Acha, di tariklah kepalanya Acha dan ditaruh di bahunya Ozy, dan mengelus kepalanya Acha, Ozy berusaha untuk menghibur Acha dengan segala usaha yang iya lakukan agar Acha tidak bersedih lagi.
Setelah mereka selesai bercerita, Acha kembali ketempat mamahnya berjualan ikan, air matanya cepat cepat ia hapus, ia memancarkan wajah yang tegar, dan senyuman yang manis, manis sekali, ia jalan menuju tempat berdagang, di sana terlihat ibunya sedang menangis, dagangannya berantakan semua, ikan ikan berceceran dimana mana, segerumulan pedagang lain menggerumungi mamahnya dan berusah membantu membereskan semua ikan yang berjatuhan, sambil membereskan, mamahnya berkata.
“Cha, kamu masih punya hati ya sama Deva?,” Tanya mamahnya Acha.
“Kok mamah bilangnya gitu, bukannya mamah sudah tau perasaan aku dari dulu sama Mas Deva,” sahut Acha sambil mengambil ikan ikannyayang berjatuhan.
“Tapi Cha, Deva bukan angkatan kita, kita hanya orang yang tidak punya apa apa, tetapi liat Deva, iya anak bangsawan, kamu gak setingkatan sama dia, kalo mau kamu carilan yang seangkatan sama kamu,” suruh mamahnya Acha.
“Tapi mah, bukannya mamah setuju kalo aku sama mas Deva,? Tapi kalo itu memang maunya mamah ya Acha bakal kasih yang terbaik untuk mamah deh,” kata Acha sambil menampilkan senyumnya yang memaksa.
***

Sore pun tiba, Acha sedang terlihat sedih sekali di kamarnya, ia tidak seperti biasanya, yang setiap sore melihat sunset di pinggir pantai, tetapi dia saat ini hanya merenungkan kejadian tadi di dalam kamarnya dengan menyendiri.
“Kata mamah benar, aku memang tidak pantas untuk Mas Deva, aku harus menjauhi Mas Deva sebelum semuanya terlambat, apalagi, Mas Deva sekarang sudah di jodohkan oleh ibunya, pokoknya gimanapun juga aku harus menjauhi Mas Deva, walaupun hatiku sakit, maafkan aku ya Mas aku hanya tidak ingin keluarga kita masing masing menjadi musuh karena ulah kita berdua.” Ucap Acha di kasurnya yang sederhana sambil melamun.


ttoo be continue


By : Laila (Kelompok 1)


Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL- Short Story Lesson

Lailatus Sakinah Freenzy (Laila Fauzy Adriansyah)

" Kasta dalam Cinta. Perlukah ?! " -part 1-

-Part 1-

Lamunannya pecah saat temannya menjentikan jarinya tepat di hadapan gadis cantik tersebut. Gadis itu tersenyum. Senyum miris. Sambil membawa sekantong ikan segar ia melangkahkan kakinya ke sebuah halaman rumah besar. Halaman rumah yang berasitektur klasik, dengan cat white broken. Ia menghela nafas panjang. Ia angkat tangannya untuk menekan bel. Ia harus kuat, harus.

“Kamu yakin ?” Tanya temannya was-was yang melihat raut wajah Acha yang jauh dari kata rela. Lihat saja, matanya masih sembab. Sepertinya kejadian kemarin sore masih terekam jelas di memorinya. Acha hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak tau menjawab apa. “Kan kalian bisa coba dulu.” Lanjut sang teman lagi. Acha kembali menghela nafas, kali ini berat.

“Kami beda.” Akhirnya hanya itu yang bisa Acha jawab. Keke, sang teman setia yang juga sedang menenteng sekantong ikan segar pun hanya bisa mengangguk.

Cekleekk,,,pintu terbuka. Acha langsung merasakan aliran darahnya berhenti. Dengan kekuatan yang ia buat-buat, ia menggerakkan tangannya lalu menyerahkan sekantong ikan segar tadi kepada sosok di depannya. Acha hanya menunduk, takut kalau sampai pertahanannya jebol.

“Ini pesanan Nyonya Zahra, Mas.” Ujar Acha agak bergetar.

“Kemarin mama bilang apa aja ke kamu ?” Tanya pemuda itu, dingin. Acha tetap menunduk. Sial, ia merasa pandangannya terhalang sesuatu.

Acha kembali menampakkan kekuatan yang ia buat-buat. “Cuma nyuruh antar ikan ini. Udah, itu aja.” Suara Acha makin bergetar.

“Dan itu artinya kamu nyerah ?”

Acha memberanikan diri untuk menatap orang di hadapannya, walaupun ia tau sebenarnya itu mustahil. Perlahan ia angkat wajahnya. Kini mata mereka bertemu. “Mengantar ikan memang sudah menjadi tugas saya.”

Pemuda ia berdecak. “Aku tau soal perjanjian kamu dan mama kemarin sore.”

Acha kembali menghela nafas. Perjanjian kemarin sore ? Hhh,,,bagaimana bisa kemarin sore ia terlibat perjanjian bodoh dengan seorang wanita yang,,,,,mantan majikannya. Ia di temui di sebuah pondok kecil, lalu di nyatakan di pecat, lalu di perintahkan untuk mengantar ikan pagi ini,,,,,,

“Bahwa jika kamu berani nganter ikan berarti kamu nyerah.” Pernyataan Deva, sosok pemuda di hadapannya, serta merta memotong lamunan Acha. Acha menunduk lagi. Matanya benar-benar basah.

Deva yang menyadari bahu Acha terguncang dengan gerakan cepat menarik Acha ke dalam pelukannya. Tak ada penolakan dari Acha. Acha malah semakin menumpahkan tangisannya. Deva mengambil kantong yang dipegang Acha lalu memberikannya pada Keke. Seolah mengerti isyarat Deva, Keke pun segera pergi. Deva dan Acha membutuhkan waktu berdua.

“Aku gak mau kamu jadi anak durhaka. Aku gak pantas buat kamu. Aku Cuma anak nelayan. Aku gak pantas, gak pantas.” Acha meracau di sela tangisannya. Deva menepuk-nepuki kepala Acha dengan lembut.

“Aku sayang sama kamu, Cha. Aku gak peduli kamu itu anak siapa. Aku sayang kamu. terserah apa kata mama. Dari dulu mama memang gak pernah ngertiin aku.”

“Mas Deva, Nyonya Zahra ngelakuin itu untuk kebaikan kamu.” Perlahan Acha merenggangkan pelukan Deva. Dan terlepas. “Aku gak cocok di bawa ke kehidupan kalian. Aku gak ngerti apa-apa tentang tata makan yang benar, tata jalan yang anggun, tata bicara yang seharusnya. Aku gak ngerti, Mas.”

“Itu semua bisa di pelajari, Cha. Sampai sekarang aku juga gak pernah menggunakan sendok sup untuk memakan sup. Aku selalu menggunakan pisau buah untuk memotong steak di atas piring.” Deva berseru dengan terburu. Mencoba meyakinkan Acha bahwa tak semua keluarga terhormat harus hidup serapi itu.

“Ini udah keputusan aku. Aku gak bisa.” Putus Acha lirih, sangat lirih. Hampir tak terdengar. Tapi itu cukup menjadi suara nyaring bagi Deva. Deva mulai emosi.

“Ok. Terserah kamu. Bilang aja kalau kamu itu gak sayang sama aku. Terserah. AKU GAK PEDULI !!!” Deva membanting pintu rumahnya tepat di muka Acha. Acha menghela nafas, walau sudah ia duga reaksi Deva akan seperti ini, tapi tetap saja itu menyakitkan. Dengan langkah gontai dan tak bersemangat, Acha melangkah keluar dari pekarangan rumah Deva. Airmatanya tetap mengalir.

@@@

“Jadi kamu mau kerja apa sekarang ?” Tanya Keke begitu ia selesai membantu seorang ibu-ibu membawa belanjaan. Ia selonjoran di samping Acha. Kakinya agak pegal.

Acha menggeleng pelan. “Belum tau, Ke. Masih nyari.”

“Kamu yakin ngelepasin Mas Deva gitu aja ?”

Acha mengangguk. “Dari pada ayah yang jadi korban ?”

Keke menyerngitkan dahi, bingung. Ia ubah posisi duduknya jadi menghadap ke Acha. Kembali ia bertanya. “Aku gak nyangka Nyonya Zahra se-tega itu.” Acha hanya tersenyum kecut. “Jadi kamu gak akan ketemu Mas Deva lagi ?”

“Iya.” Jawab Acha tidak yakin. Ia menoleh ke Keke. Tersenyum kecil, lalu membenamkan wajahnya di antara kaki yang ia tekuk. “Sepertinya.”

“Sabar, Cha.” Keke jadi ingat sesuatu. “Oh iya, Mas Deva tau soal ancaman itu ?” Acha menggeleng. “Kenapa gak kamu kasih tau aja ?”

“Ya gak mungkinlah, Ke. Nanti malah makin memperburuk keadaan. Bukan Cuma perahu ayah yang akan di hancurkan, tapi juga semua pasar kita ini.”

Keke manggut-manggut. “Kemarin Mas Deva marahin kamu ya ?”

“Aku terima kok. Mas Deva pasti kecewa sama aku. Harusnya dulu kami gak menjalin hubungan apapun.” Urai Acha getir. Ada nada gak rela saat ia mengucapkan kalimat terakhir.

“Kamu masih sayang sama dia ?”

Acha menatap Keke agak lama. Lalu membuang pandangannya ke arah pantai. “Harus di jawab ya, Ke ?”

Keke tersenyum garing. Ia beranjak meninggalkan Acha. Acha sedikit lega saat Keke izin untuk kembali ke pasar, dia memang sedang ingin sendirian. Pikirannya terlalu penuh. Entah ia bisa berjalan seperti biasanya atau tidak.

@@@

Deva memukul batang kelapa di hadapannya dengan kesal. Ia geram, marah, kecewa. Dengan langkah besar dan kasar ia beranjak dari tempat itu. Tak butuh waktu lama untuk sampai kembali ke rumahnya. Ia langsung menuju ruang kerja mamanya. Tak ada waktu untuk mengetuk. Dengan satu terjangan, pintu terbuka.

“Sampai kapan sih Dev kamu akan selalu membuka pintu seperti itu kalau sedang marah ?” Wanita anggun itu berseru tenang. Pandangannya masih fokus ke LCD laptop. Ada grafik-grafik aneh di layar LCD itu.

Sadar bahwa Deva hanya berdiri dengan nafas memburu di hadapannya, wanita itu berseru kembali. Ia lepaskan kacamatanya. Tetap dengan gerakan anggun dan rapi. “Dari semua keluarga Ekada, Cuma kamu yang paling gak punya aturan.”

Deva mencibir. Mata sinisnya ia tujukan pada wanita yang notabene adalah mamanya. “Aku bukan Kak Ray yang selalu nurut dengan semua perintah bodoh mama. Aku bukan Kak Shilla yang mau-mau aja di suruh nikah dengan orang asing yang baru ia kenal 5 menit. Denger ya ma, mama itu memang mama aku, tapi bukan berarti mama berhak ikut campur dalam semua urusan aku. Aku bisa ngurus semuanya sendiri”

Zahra, sang mama, melipat tangannya di dada. Lalu bangkit dari kursi kebangsaannya dan berjalan ke arah Deva. “Coba kamu ingat, siapa yang keluarin kamu dari kantor polisi waktu kamu terlibat balap liar ? Siapa yang ngelunasin semua kartu kredit kamu setiap bulannya ? Siapa yang memfasilitasi semua kebutuhan kamu ? Gadis miskin itu atau orang yang ada di hadapan kamu ini ?” Zahra balas menatap sinis ke Deva. Deva menunduk. Semua uraian yang mamanya uraikan adalah kenyataan. Deva kalah telak.

“Kenapa diam ? Atau jangan-jangan kamu terserang amnesia mendadak ?” Zahra berujar lagi. Cara bicaranya sungguh tenang, tapi menusuk. “Dengar ya sayang, ini semua demi kamu dan kehormatan keluarga kita. Apa kata orang nanti kalau bungsu seorang Ekada menjalin hubungan dengan seorang anak nelayan yang gak jelas asal-usulnya. Belajar dari Ray dan Shilla. Lihat, sekarang mereka bahagia dengan rumah tangga mereka.”

Deva tersenyum mengejek. “Oh ya ? Mama tunggu aja surat perceraian mereka sampai ke tangan mama. Aku rasa surat itu sudah di perjalanan.” Setelah menendang meja kerja Zahra ia pun keluar dari ruangan itu. Beberapa hiasan di meja Zahra berjatuhan. Zahra tersenyum licik, tingkah Deva membuatnya semakin bernafsu untuk melancarkan rencana selanjutnya.

@@@

Sore ini, sore ke tujuh Acha duduk sendirian. Semuanya berbeda. Biasanya ia dan Deva selalu duduk di sini, di pondok kecil di pinggiran pantai. Rutinitas mereka setiap sore : melihat sunset. Acha memejamkan matanya. Matahari sore menyapu setiap inci kulit Acha, hangat namun menenangkan. Deruan ombak semakin memperkuat suasana romantis. Andai Deva di sini. Lupakan Acha, lupakan !!!

“Kalau matanya di tutup, gak keliatan donk sunset-nya.” Suara seseorang menggema di telinga Acha. Suara,,,Deva ? Seketika Acha membuka matanya. Benar saja, Deva sudah duduk manis di sampingnya. Memeluk lutut, sama seperti dirinya.

“Mas Deva ?”

Deva tersenyumm manis. Senyum yang selama beberapa hari ini sangat Acha rindukan. “Maaf, selama seminggu ini aku gak nemenin kamu ngeliat sunset.”

“Itu semua udah gak perlu lagi.”

“Kenapa ?”

Acha menatap kosong ke arah pantai. “Kita harus terbiasa dengan keadaan yang mulai berbeda.”

“Tapi aku gak mau terbisa.” Balas Deva, tegas. Ia balikkan tubuh Acha sampai menghadap ke arahnya. Ia angkat wajah Acha dengan telunjuknya, menatap gadis itu tepat di manik matanya. “Aku sudah terlalu terbiasa dengan kamu.”

“Kita beda.” Acha merusaha menahan airmatanya.

“Cha, cinta itu gak perlu kasta.”

“Mas, tapi kasta kita memang beda.” Acha menggeser duduknya agak jauh dari deva. Membuang mukanya ke sisi yang berlawanan. “Kasta kita beda. Sangat jauh. Kamu terlalu tinggi.”

“Ok, aku buang semua gelar yang aku sandang. Aku gak mungkin bisa terbiasa tanpa kamu, Cha.” Ujar Deva putus asa. Susah sekali membujuk Acha.

“Banyak yang menjadi korban kalau kita egois.” Acha berseru tenang. Berusaha lebih tepatnya. Deva bangkit dan duduk di hadapan Acha. Ia menggenggam tangan Acha. Kali ini ia harus berhasil.

“Acha, kalaupun nanti mama ngusir aku dari rumah dan memblokir semua rekening aku, aku masih tetap bisa menghidupi kamu. Aku punya tabungan atas nama aku sendiri, dan aku udah punya jaminan kerja. Pliss,,,Cha. Aku janji gak akan nyakitin kamu.” Deva benar-benar sudah putus asa. Acha sama sekali tak merespon. Ia malah menunduk. Pikirannya mendadak kacau. Ia menarik tangannya dari genggaman Deva. Lalu perlahan turun dari pondok. “Mau kemana ?”

Acha tersenyum tipis. “Ngelupain semuanya.”

“Ma,,,maksud kamu ?”

“Anggap aja kita gak pernah kenal.” Telak Acha menyakitkan.

Seketika Deva mematung. Tak percaya dengan yang di ucapkan oleh Acha. Sebegitu gampangkah menghilangkan sebuah rasa menurut Acha ? Deva turun dari pondok lalu berdiri di hadapan Acha. Ia rengkuh pipi gadis itu. Agak bergetar, sepertinya Acha sedang berusaha menahan sesuatu.

“Aku gak mau.” Ucap Deva tegas. Ia langsung memeluk tubuh Acha, erat. Tidak ingin melepaskannya lagi sedetik pun. “Gak gampang, Cha. Semuanya gak gampang. Dulu aku susah payah mengeyakinin hati aku kalau aku sebenarnya sayang kamu. Dan sekarang kamu bilang anggap aja kita gak pernah kenal. Itu sama aja ngebunuh aku.” Deva meracau seraya memperat pelukannya di tubuh mungil Acha. Seakan takut bahwa bila pelukannya renggang sedikit saja maka gadis itu akan menghilang.

“Lepasin aku.”

“Gak. Gak akan.” Suara Deva terdengar ketakutan.

“Mas Deva, tolong lepasin aku.” Perintah Acha, dingin. Dan pelukan terlepas. Acha tersenyum kecil, lalu ia berlari meninggalkan Deva. Pertahanannya jebol. Sakit sekali rasanya mengatakan semua keputusan-keputusan tadi.

Deva yakin ini mimpi. Pasti yang lari di hadapannya itu bukan Acha. Pasti Cuma ilusi. Pasti. Ia menendang-nendangi pasir dengan brutal. Maki-makian meluncur bebas dari mulutnya.

“ARRGGHH,,,,,,INI GAK ADIIIILLLLLLLLL !!!”

To be continue,,,


By : Irma (Kelompok 1)


Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL- Short story lesson

Iermma ZukoHighmore D'gRoe (Iermma Egoizss D'gRoe)

Kota Ku (Puisi)

Kota ku,,
Kau amat indah dan berjasa
Karena kau t'lah melindungi ku di perutmu
Kau melindungi ku dari segala macam marabahaya

Tapi....mengapa semua t'lah tiada
Hancur lebur tiada sisa
Diterpa banjir, tanah longsor, dan gempa

Oh, Tuhan...
Malangnya nasib kota ku ini
Kota....
Tempat ku dilahirkan
Tempat ku dibesarkan
dan...
Tempat ku hidup bahagia

Tapi...semuanya hilang tanpa bekas
Sekarang
Hidup ku merana
Terpisah dari Ayah dan Bunda

Mutualisme (Puisi)

Ketika ku lihat kupu-kupu berkeliaran
Amat indah sayapnya berkilauan
Terpantulkan sinar mentari yang menyengat tubuhnya
Hinggap di berbagai macam bunga
Mengisap sari-sari makanan
Serta, meninggalkan sari-sari yang terdahulu
Sungguh sangat betergantungan hidup ini

Ada bunga Asoka yang warnanya merah
Melambangkan keberanian
Ada bunga terompet
Yang bentuknya seperti terompet
Ada bunga kumis kucing
Yang benar sarinya menyerupai kumis kucing

Kupu-kupu...
Bagi bunga, kau sangatlah penting dan berguna
Membantu mereka dalam proses penyerbukan
Juga kau, bunga....
Bagi kupu-kupu, kau sangat bermanfaat
Mereka mendapat nektar nan enak
Sungguh simbiosis mutualisme yang sempurna

Simpul Ingatan Di Ujung Perpisahan (Puisi)

acot dlu gen,, hhn
Teman teman alumni SD Muhammadiyah, ingat ga apa judul puisi dan isi puisi yg ku bawakan saat perpisahan kita dlu. Apa kalian ingat ga dgn aku. Kalian ingat ga hiruk pikuk kita dlu.
Yuk. Ku ingat kan dgn puisi ini.

-Simpul Ingatan di Ujung Perpisahan-

Ibu-Bapak Guru dan kawan semua !
Tidak terasa kita berjalan diatas Detik,
Menit, Jam, Hari, Minggu, Bulan, juga Tahun
Di awal Maret 2004 kita bertemu pertama
Atap langit adalah saksi awal pertemuan kita
Ruangan dan tempat ini jadi saksi juga

Kawan-kawan ...,
Ada yang serius, tapi banyak juga yang bercanda
Dimana tidak ada pembatas diantara kita

Ada Yayan yang selalu ngoceh dengan gaya leluconnya
Ada Anis, Lukmi, dan Putri dengan cerita Narutonya
Ada Bu Hj. Ainun dengan keramahan senyumnya
Ada Bu Atin yang sabar untuk dapat meluluskan kami
Ada Bu Lia mengajari KTK diselingi humornya
Ada Pak Gun yang mengajarkan Al-Qur'an dengan serius
Juga Pak Edi dengan paparan sejarahnya

Deru cerita membawa kita ke ujung perpisahan
Di mana selama ini jalinan waktu mengukir cerita mengejar cita-cita

Ingin maju bersama itulah motto kita !
Majulah kawan-kawan, gapailah cita-cita kalian !
Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulang lagi
Simpanlah kenangan manis ini ! Jauh di mata dekat di hati
Selamat jalan kawan, do'a-ku bersama kalian !
Trima kasih ku patut kupersembahkan pada Guruku yang tulus
Selamat tinggal Ibu-Bapak Guru ! Do'a dan ridhomu kami harapkan

---

huaa. T.T
sungguh, aku jd terharu menulis ini.
Apa kalian msh ingat.
Ah, aku kangen masa SD.
*)
apa kbr sih kalian?
NENENG NOVESHA DEWI

Padamu Ibu (Puisi)

Ibu.......
Sembilan bulan kau hamilkan daku
Lalu kau lahirkan
Dalam taruhan hidup atau mati
Dan.....aku kau besarkan
Tak seekor nyamuk kau biarkan mendekati
Mencicipi setetes darahku
Demi curahan kasih sayangmu Ibu.

Engkau pahlawan mulia Ibu
Lambang ketahanan hati
Ibu.........
Hidupmu kau korbankan
Hanya untuk memeliharaku jua
Dengan cintamu kan terus menyertaiku
Hingga....aku dewasa

Oh.......Ibuku
Untuk membalas pengorbananmu
Hanya do'a yang kupanjatkan
Semoga Tuhan melindungimu
Padamu Ibu
Tertumpah kasih sayangku

This Is My Ability (Short Story)


2011
November kala ini terlihat seorang gadis tengah termenung disudut koridor kampus. Pikirannya entah hilang kemana, melayang-layang tak karuan. Tak dapat digambarkan secara umum. Namun ia mengerti pikiranya sedang kacau. Ya, KACAU. Hanya kata itu yang bergeming dibenaknya. Memikirkan masalah yang bertemu di akhir November ini. Ayah dan ibu yang tak pernah selesai berseteru. Tugas kampus yang segudang. Dan masih banyak hal lagi yang tak dapat dilukiskan.
Lamunannya pecah ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh. Lalu tersenyum simpul, namun terkesan memaksa.
“Sanyounken.” Sapanya lembut dan memastikan apakah benar yang ditemuinya itu adalah seorang gadis yang bernama Sanyounken.
“Ya?” Gadis itu menyahut sekenanya, toh buat apa panjang-panjang. Apa dia harus memarahi orang tadi karena telah membuyarkan lamunannya? Namun, bukankah itu baik? Dia bisa terpecah dari lamunan yang memojokkannya di bulan ini.
“Kamu kenapa, Sany?” Tanya orang tadi pada gadis itu. Sany? Oh, Sany rupanya panggilan akrab orang tadi pada gadis itu.
“Aku? Kenapa?” Sany mengacuhkan kalimat pertanyaan orang tadi dan balik bertanya. Sebuah sikap yag sebenarnya kurang sopan.
Sunyi, sepi, semua diam. Entah kenapa. Tak ada yang angkat bicara. Orang tadi juga diam, dia tidak menjawab pertanyaan konyol gadis itu. Mereka memilih diam-diaman. Tiba-tiba sebersit adegan tak terduga melintas dibenak gadis itu. Adegan apa? Entahlah. Dia tak mau menceritakannya pada dunia.
“Sudah ku katakan berulang kali. Jika kamu punya masalah, cerita padaku. Aku siap mendengarkannya. Terus, jika kamu ingin melamun, jangan ditempat sepi seperti ini, Sany. Itu tidak baik! Kamu ingat cerita lima tahun lalu tentang seorang gadis yang sedikit depresi dan dia selalu merenungkan nasibnya di tempat sepi seperti ini. Aha!! Disini! Ya, disini!” kalimat-kalimat itu terlontar cepat. Hanya terdengar tarikan nafas yang sesekali dilakukannya. Dia begitu bersemangat mengucapkannya, mungkin saja dia sedang ingin menghibur gadis itu.
Tak lama orang tadi melanjutkan kalimat-kalimatnya yang belum rampung. “Lalu, kamu tahu apa yang terjadi? Dia.. dia.. aduh, apa sih namanya itu. Kalau negeri ku -Indonesia- bilang itu namanya kesurupan. Kamu tau kesurupan? Itu loh manusia yang dirasuki oleh roh halus. Kamu ngerti apa maksudku?” ucapannya terdengar lesu ketika mengucapkan kalimat terakhir. Dia tertegun. Gadis yang dia ajak bicara sekarang menatap langit dengan panandangan kosong. Kosong. Kosong. Dan kosong. Tanpa menunggu jawaban apa yang akan di lontarkan gadis itu, orang tadi segera menariknya untuk bangkit dan pergi dari tampat itu.
*
“Celah celah hati ini serasa kosong tak berisi. Apa tak ada yang mau mengisinya? Entah dengan apa. Kasih sayang? Boleh saja. Tapi…… Siapa yang mau memberikan kasih sayang itu untuk menutupi celah-celah kekosongan ini?” Sany bergeming dalam hati. Meratapi sepi yang melanda hati.
“Aku bisa, Sany.” Ucapnya tulus. Tak ada beban untuk mengucapkan itu. Tapi. Tunggu! Kenapa dia mengucapkan kalimat itu. Apa dia bisa membaca pikiran gadis itu? Oh, apa itu mungkin? Tapi… ya bisa saja sih sebenarnya.
“Apa sih kamu itu?” semburat merah menonjol di kedua pipinya. Sekejap dia menjadi salah tingkah. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin saja kalimat orang tadi yang dapat membuatnya begini. Salah tingkah.
“Garaa, kamu datang tak diundang. Menyambar tak diumpan. Berbicara tak diperintah. Duh.duh.. apa sih kamu itu?” lanjut Sany yang masih tidak mengerti apa maksud kalimat yang telah dilontarkan orang tadi. Orang tadi? Garaa? Apa namanya Garaa? Hanya satu kata, ‘IYA’.
“Sany..Sany.” Garaa mengucapkan dua kali berulang nama Sany sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin saja dia gemas dengan perlakuan gadis ini padanya. Padahal Garaa mengenal gadis ini sebagai gadis yang jenius. Tapi, hanya dipertemukan dengan kalimat itu, dia terpojok. Haya sebegitukah kejeniusan Sany? Mari kita lihat pada adegan berikutnya,
“Sany.. kamu lupa? Aku kan bisa membica pikiran orang. Apa kamu lupa? Dan aku menangkap pikiran mu kala itu. Kamu sedang mencari pengisi kekosongan di hati ini.” Ucapnya lagi melanjutkan kalimat-kalimatnya yang belum rampung, bahkan masih belum rampung setelah dia mengatakan ‘Kamu sedang mencari pengisi kekosongan di hati ini’, dia masih saja menggantungkan kalimatnya yang tambah membingungkan gadis yang ada bersamanya saat ini.
“Sudahlah, Garaa. Aku tahu kamu memiliki keahlian itu. Tapi kali ini, pemikiran mu salah, Raa. Aku tak sedang memikirkan itu.” Sany memotong pembicaraan Garaa, dia tidak mau makin terjerumus dengan pemikiran-pemikiran yang dapat membuatnya GR kala itu.
“Itu yang aku tidak suka darimu, Sany. Kamu suka sekali memotong pembicaraan ku. Coba dengarkan aku. Sekali ini saja.” Garaa meminta pasti lalu melanjutkan kalimatnya, “Masih saja kamu berkilah. Apa kamu meragukan kemampuanku ini?” Waw!! Hanya dua kalimat lanjutan uacapanya. Lalu, hening. Tapi hanya sesaat rupanya.
“Garaa… sudah…” Sany berniat mengucapkan sesuatu namun ditepis dengan ucapan Garaa. Kali ini Garaa yang memotong pembicaraan gadis itu.
“Sany, ayolah.” Paksanya. Ckckckck.. ternyata Garaa hanya memaksa agar Sany mengakui kebenaran pemikirannya itu.
Sany terdiam. Ingin rasanya dia menjawab iya di depan pria ini. Namun itu rasanya berat sekali. Tapi, jika dia tidak menjawab iya. Maka kekosongan itu tak akan berisi secepat seperti yang ia harapkan.
“Ayolah. Di pikiranmu saja sudah bergeming kata ‘iya’. Aku bisa, Sany. Aku bisa mengisi kekosongan itu. Apa kamu mau kekosongan itu aku yang mengisinya?” Garaa bergeming kembali. Tak sabar menunggu kalimat-kalimat yang akan terlontar dari lidah mungil gadis itu.
Sejenak suasana menegangkan menggelayuti jantung Sany yang semakin berdenyut kencang, kencang, kencang sekali, serasa akan terlepas dari wadahnya. Dia -Sany- kembali menimbang-nimbang akan apa yang ingin ia lontarkan. Bingung-takut. Dua hal itu yang sedang mengitari pikirannya. Bingung. Dia bingung ingin melontarkan kalimat apa dari lidahnya, sementar lidahnya serasa dikunci gembok panas dari neraka. Menandakan jangan katakana apapun dan lebih baik diam. Takut. Dia takut. Takut jika dia mengatakan yang sesungguhnya Garaa akan menertawakannya. Takut jika memilih diam, hatinya akan tetap kosong, hampa tak berisi.
Sany menepis dua hal tadi. Ia berniat beranjak dari tempatnya. Lalu pergi. Pergi sajalah, dari pada terpojok disini. Terpojok akan pertanyaan-pertanyaan Garaa yang membuatnya semakin galau. Dia bersiap ambil langkah seribu. Lalu melengos pergi. Apa yang terjadi dengan Garaa? Apakah dia menahan kepergian Sany? Seperti uluran tangan yang mengait tangan gadis itu agar tidak pergi? Ternyata tidak. Gara membiarkan gadis itu pergi entah kemana. Ditelan bumi pun tak apa. Hush. Apaan sih Garaa? Dia -Garaa- kini termenung sendiri tak ada yang menemani. Dia pusing akan semua ini. Hati yang sebenarnya ingin ia selipkan disisi kekosongan hati Sany. Tapi dia tak dapat mengutarakannya secara tersurat. Ya! Dia hanya mampu mengutarakan secara tersirat bukan tersurat.
*
Langit mulai menghitam, dunia fana ini hanya menggantung pada sinar bulan. Hah ? Hanya? Tidak! Aku refisi kalimat itu. Dunia fana ini menggantung kan diri pada sinar bulan kala kita di luar rumah. Eh. Benar tidak begitu. Entahlah. Lupakan masalah itu. Kembali ke pokok pikiran cerpen ini.
Dikala hujan malam ini, Sany kembali termenung. Namun, bukan di tempat seperti siang tadi. Dia.. dia.. Dia duduk termenung di sudut kamar tepat diatas kasurnya. Ruangan yang ditata secara minimalis dengan dua buah lukisan dirinya digantung tepat di dinding dekat tempat tidurnya. Lampu hias yang diletakkan diatas sebuah meja kecil disamping tempat tidurnya. Lampu hias yang berbentuk unik, dengan hiasan berupa mahkota Putri Raja William dengan warna keemasan. Lampu hias yang biasa Sany gunakan kala ia tidur dimalam hari. Terdapat satu buah sofa yang membundar bertolak belakang dengan tempat tidurnya, menghadap sebuah televisi yang berukuran 29 inch dengan pajangan sebuah pot bunga mawar putih diatasnya. Lemari yang berukuran sedang di pojok kamar dekat jendela menghadap pintu yang menuju kearah balkon kamarnya. Dan sebuah rak buku yang memanjang di sepanjang dinding kamarnya –dari pintu sampai pojok sudut ruangan sebelah kiri kamarnya- hingga jika kita membuka pintu kamar Sany yang memag terletak di sebelah kanan, maka kita tidak melihat rak buku sepanjang itu. Namun, yang pertama kita lihat adalah lemari di dekat pintu menuju balkon kamarnya.
Andai aku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini hukuman bisa di beli
Kita orang yang lemah pasrah akan keadaan
Senandung reff Lagu Gayus tambunan terpancar dari speeker sebuah handphone yang sedang menandaskan diri di sebuah meja kecil disamping tempat tidur Sany. “Satu pesan masuk” kalimat itulah yang tertera di layar monitor handphone tadi. Handphone Sany rupanya. Punya siapa lagi coba kalau bukan miliknya dirinya?
Dengan dorongan yang memaksa dan kalau bukan hatinya yang bertanya-tanya dari siapa gerangan yang telah tega mengirimkan pesan itu hingga sukses membuyarkan lamunannya.
*
2016
            Mentari terik kala itu tengah berada tepat diatas kepala seorang gadis yang tengah berjalan menyusuri jalan utama kampusnya. Universitas Ujimiyoki. Sebuah Universitas di Jepang yang memuat mahasiswa dan mahasiswi yang berbakat dalam hal keajaiban. Ya, Universitas ini hanya mempelajari seputar keajaiban, tak ada hal lain yang akan di pelajari. Matematika? Biologi? Fisika? Kimia? Sejarah? Ekonomi? Tidak ada kata itu dalam Universitas ini. Hanya ada keajaiban yang terdapat disana. Sihir? Oh, tentu bukan. Kebanyakan orang biasa mengatakan hal itu dengan sebutan indra keenam. Itulah yang membuat seorang gadis kelahiran Jepang ini berminat untuk menuntut dan mengasah keajaiban yang terdapat dalam dirinya di Universitas ini. Gadis remaja ini naru menyadari akan kemampuannya sejak kejadian dua tahu silam.
            *Flashback on*
            Derapan kaki berderu cepat di jembatan penyebrangan. Langkahnya begitu terdengar terburu-buru. Langkah per langkah semakin cepat di buatnya. Seperti terkejar waktu saja. Mimpi yang tinggi tiba-tiba terbayang di benaknya. Andai dia bisa terbang, atau bisa menghilang, atau bisa berlari secepat kilat.
            Seperti ada suatu keajaiban terjadi padanya. Semilir angin yang tadi berhembus perlahan, kini dengan hitungan detik berubah cepat bagaikan angin putting beliung yang memutar dirinya terombak ambik terbawa semilir angin putting beliung tadi. Dan…………. Impian nya terwujud, kini dia telah tiba ditempat tujuannya.
            *Flashback Off*
            “Sanyouken.” Terdengar seruan lembut dari arah belakang tempat gadis tadi berpijak. Seruannya lembut namun nada terengah-engah tetap terlantun dari iramanya berkata. Kiranya dia telah mengejar gadis yang dipanggil dengan sebutan ‘Sanyouken’ sedari tadi.
            “Ya?” Sahut Sanyounken tanpa menoleh sedikitpun pada orang tadi. Dia tetap berjalan lurus ke depan. Dibenaknya hanya ada sebersit pikiran agar dapat secepatnya bertanggal di ruangannya. Terbebas dari sinar mentari yang begitu menyangat kala itu.
            “Seberapa lama sih kamu cuekin aku? Apa salah ku? Apa kamu masih marah pada ku akan kejadian hari lalu yang menurut mu itu salah?” Mulutnya berucap cepat untuk melontarkan seribu satu pertanyaan yang terngiang di otaknya. Tak ada jeda sedikitpun disana. Namun masih berkesan lembut. Dia masih berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Sanyounken, yang sedari tadi dibuatnya –Sanyounken- semakin cepat.
            “Sudahlah, Garaa. Buat apa kamu menanyakan ‘Seberapa lama sih kamu cuekin aku? Apa salah ku? Apa kamu masih marah pada ku akan kejadian hari lalu yang menurut mu itu salah?’ Jawabannya? Kamu mau tahu apa jawaban ku? Masih mau tahu kamu?” Tanya Sanyounken dengan sedikit marah yang membara-bara di hatinya. Namun ia tetap berusaha tenang.
            “Sany, maafkan aku.” Lirihnya cepat sembari menundukkan kepala, malu. Hanya kalimat itu yang terlontar di mulutnya.
            Sany menghentikan langkahnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
“Untuk apa? Perihal itu? Sudahlah, Garaa. Untuk apa kamu minta maaf padaku? Apa kamu punya salah pada ku? Bukan aku, Garaa. Bukan aku! Aku sudah dapat menerka pikiranmu. kamu kemari tak ada kata tulus untuk meminta maaf dan tulus itu tetap terpaku erat di hatimu. Disini. Kamu lakukan ini hanya semata-mata demi Sakura, pelangimu itu. Dan sahabatmu ini? Apa guna? Tak ada, Garaa. Lebih baik kamu pergi. Cari Sakura! Dia sedang terisak di taman Kimoto.” Ucap Sany cepat dan tetap dengan emosinya, walaupun tak setinggi tadi, kala ini amarah nya sudah mereda.
“Kenapa kamu begitu, Sany? Sakura sudah mengizinkan ku. Dan aku berpijak disini atas keinginan ku sendiri. Bukan karena Sakura! Bukan, Sany! Seberapa banyak lagi sih aku harus meminta maaf pada mu? Aku….”
“Garaa! Cukup! Cukup! Aku tidak mau mendengar mu lagi. Sudah cukup kamu melukai Pak Mimori dengan tatapan tajam dan mematikan itu hanya karena dia lupa mengembalikan bolpointmu yang di pinjamnya tempo hari, hingga beliau terbaring lemah di ICU. Sebegitukah kekejaman mu pada seorang Pak Mimori yang bijaksana. Tak seperti mu! Egois! Aku tahu, beliau adalah Ayah tirimu. Aku tahu, kamu tidak menyukainya. Aku tahu, kamu begitu membencinya. Aku tahu, semua hal tentang mu yang berhubungan dengan beliau. Tapi… Apa kamu mau dikatakan seorang pembunuh??!! Shit!! Tak usah kamu jawab pertanyaan ku. Percuma! Pak Mimori sudah terbaring tak berdaya di Kikiro.” Bentak Sany cepat dan memotong pembicaraan Garaa tadi. Kali ini emosinya sudah tak terkendalikan lagi. Dia berlalu tanpa memperdulikan apa yang hendak dikatakan oleh Garaa yang hendak angkat bicara kala itu.
“San, ….” Garaa ingin berbicara. Namun setelah dia mendongakkan kepalanya, sosok Sany telah berlalu sedari tadi.
Dengan langkah gontai Garaa menyusuri lapangan Universitas Ujimiyoki, namun kali ini dia sedikit melayang, melayang, dan makin melayang ke udara. Melayangkan diri ke udara bukan hal yang aneh. Perihal seperti itu sudah sering dilakukan oleh mahasiswa mahasiswi disini. Pikirannya kali ini melayang tak terkira seperti dirinya yang sedang menikmati indahnya dunia diatas sana.
*
2011
Awal aku berjumpa dengan mu
Tempat seram dan kegundahan mu itu
Menjadi saksi pertemuan kita
Deru cerita membawa kita dalam cita
Suka maupun duka

2016
Kalut duka menyelimuti kita
Khilaf ku telah gunakan ability itu
Kau anggap salah
Aku merasa bersalah
Namun, nasi telah menjadi bubur
Diriku tak mampu bertindak apa-apa
Peristiwa kala itu membuat ku geram sendiri
Namun apa yang dapat ku perbuat
Tak ada guna kemampuanku kala ini
Diriku hanya mampu menatap dengan tatapan tajam yang tak berarti
Menyakitkan memang

Kini,,
Aku hanya mampu
Mampu melihat kepergiannya yang secepat kilat itu
Tanpa ada lambaian tangan
Tanpa ada senyuman
Tanpa ada kegembiraan
Tanpa ada kehalusan
Tetapi tatapan kekecewaan yang mampu tertangkap dibenakku

Kalimat per kalimat tersusun dibenak Garaa, walau masih terkesan berantakan. Tentu saja rangkaian kalimat itu dibuatnya dengan hitungan detik, tanpa ada konsep maupun refisi sedikit pun. Pikiranya kacau. Sekali lagi dia kacau. Penyesalan yang disadari ketika akhir cerita tak ada guna memang. Ia kembali menggeram kencang. Tetap konsisten akan kepercayaannya. “This Is My Ability!!” geraman itu yang terdengar memekik-mekik tanda kekesalannya kala ini. Rintik hujan dibawahnya berkalut semakin kencang. Hah? Dibawahnya? Iya, dibawahnya. Sekarang Garaa sedang menikmati alam diatas awan. Dia meninggal? Tidak. Dia hanya sedang berkalut duka dan dengan dorongan kuat untuk memperaktekan ability terbarunya.

Struktur Atom

Suatu hari, kamu bangun sendirian di pagi hari. Kamu ingat, tadi malam kamu pulang larut dan rumah sudah kosong, padahal semua peralatan sudah disiapkan di depan kamar. Lalu, kamu menelepon ibumu.
"Setelah sampai di Bali kamu cari hotel M, terus kamu naik ke lantai dua. Nah, kita sewa lima kamar," ujar ibumu. "Kamu cari kamar yang kosong atau yang cuma berisi satu orang karena satu kamar maximal dua orang!" lanjutnya lagi.
Kamupun berangkat ke Bali menyusul keluargamu. Disana, kamu mencari hotel M, sesuai petunjuk hotel M adalah hotel yang ada di deretan ketiga dari pusat kota. Setelah menemukannya, kamu naik ke lantai dua. Disana, ada lima kamar yang kalian sewa. Kamu membuka kamar pertama, ayah-ibumu ada di sana, jelas kamu tidak boleh masuk karena kamar sudah diisi dua orang. Di kamar berikutnya, ada kakakmu dan istrinya, kamu juga tidak boleh masuk ke sana, kan?
Di kamar ketiga, kamar keemat, dan kelima masing-masing berisi seorang adikmu. Kamu mencoba masuk ke kamar nomor empat. Namun, tiba-tiba adikmu di kamar nomor empat berteriak, "Isi dulu kamar nomor tiga, nanti temanku akan datang dengan seorang temannya lagi!"
Dan, akhirnya kamu pun masuk ke kamar nomor tiga.

Kalau cerita ini dianalogikan dengan struktur atom, disinilah kamu berada.

Hotel (Kuantum Utama)
K L M N O ... dst
Lantai ke- (Kuantum Azimutg)
0 1 2 3 4 ... dst
Jumlah kamar (Kuantum Magnetik)
1 3 5 7 9 ... dst

Maka, nilai-nilai bilangan kuantum tempat kamu tinggal saat liburan adalah
Kuantum Utama -> M (n = 3)
Kuantum Azimuth -> 2 (subkulit d)
Kuantum Magnetik -> 0

NB : Sumber "Rangkuman KiMiA SMA" :D :D

LAPORAN KEGIATAN STUDY TOUR


LAPORAN KEGIATAN STUDY TOUR
Oleh : Neneng Novesha Dewi
IXB
Tujuan             : Pantai Batakan, Martapura dan Duta Mall

            “Sebelas Maret diriku masuk penjara
            Awal ku menjalani proses masa tahanan
            Hidup di penjara sangat berat ku rasakan
Badanku kurus, karena beban pikiran
Kita orang yang lemah tak punya daya apa-apa
Tak bisa berbuat banyak seperti para koruptor”
Senandung lagu Gayus Tambunan terdengar dari sebuah telepon genggam milik ku. Pertanda waktu telah menunjukkan 03.45 WIB. Tadi malam sengaja ku pasang alarm ‘tuk bangunkan ku dipagi ini.
03.45 WIB. Langit masih hitam. Walaupun bulan sudah tak nampak, namun sang surya belum menampakkan dirinya dimuka bumi. Mungkin saja itu pengaruh cuaca tadi malam yang tidak bersahabat. Udara dingin yang masih menusuk kulit membuat ku enggan untuk menyingkirkan selimut kala itu. “Ah, baru jam 03.45, masih lama waktu untuk beralih ke angka lima. Lebih baik tidur sebentar lagi.” Gumam ku lirih. Ku tarik kembali selimut yang sudah ku tandaskan diatas bantal ku. Kembali terlelap. Oh, tidak. Tetapi, hampir terlelap. Namun, ku raih telepon genggam ku dari samping bantal ku, ku klik tombol navigasi kiri. Lalu ku ketik sebuah kalimat ‘tuk ku kirimkan untuk ibu.
Kepada            : My Mam [081221246014]
Isi                    : Mah, temanin aku. Mau siap-siap.
Begitulah kiranya pesan yang begitu singkat untuk ibu ku.
Terdengar kasak-kusuk di dapur. Mungkin saja ibu ku telah bangun sejak ku kirim pesan singkat tadi. Kala ini, tanpa enggan segera ku singkirkan kembali selimut yang tengah menggelayuti tubuh ku dikala semilir udara yang berhembus lembut namun menusuk kulit.
Ku turuni tangga tempat tidur ku perlahan namun pasti. Ku bentangkan kedua tangan ku sebentar, lalu segera ku raih handuk. Langkahkan kaki pasti menuju kamar mandi.
Gebyar. Gebyur. Gebyar. Gebyur.
Begitulah kiranya suara yang tertangkap indra pendengaranku ketika ku melakukan aktivitas mandi. Sepuluh menit kiranya aku di kamar mandi. Usai itu, dengan pasti ku kembali langkahkan kaki menuju kamarku. Ku raih kaos berwarna putih keabu-abuan.
Minggu kelabu kali ini, 6 Februari 2011, sekolah ku mengadakan study tour ke Pantai Batakan-Martapura-Duta Mall. Itulah sebabnya diri ku kala ini seperti terkejar waktu. Ya memang terkejar waktu. 05.00 WIB itulah waktu yang ditentukan untuk keberangkatan menuju pantai Batakan. Namun, tepat jam 05.00 aku masih di perjalanan menuju ke sekolah -SMP Negeri 1 Selat-. Febriana Prastiwi, teman sejawat ku saja sudah menghubungi ku sedari tadi, memberitahukan bahwa semua siswa sudah berkumpul. Ya Allah, gelisah sekali kala itu hati ku. Namun, gelisah itu tetap ku paku erat di hati ku, tanpa mengutarakannya pada kakak yang mengantarku ke sekolah.
05.10 WIB. Angka yang begitu pasti. Angka yang menunjukkan waktu. Angka itu tepat bersamaan dengan langkah ku yang memasuki gerbang sekolah ku. Terlihat siswa-siswi dengan pakaian tersendiri -tidak seragam- sedang berbaris rapi sembari mendengarkan sedikit celotehan dari para guru. Entah siapa dan apa yang dibicarakan. Aku pun tak tahu. Mengapa ? Ya, karena aku mendapat barisan dibelakang. Bagaimana mau mendengar, sedangkan hiruk pikuk kebahagian terpancar dan diutarakan hampir oleh semua siswa yang ada disitu. Ya tentu sajalah, pengeras suara yang digunakan salah satu guru terkalah tanding dengan suara mereka. Upps, sebenarnya aku juga ngerumpi tuh di belakang barisan. Hehe.
Entah kalimat penutup apa yang diutarakan guru hingga membuat semua siswa menghamburkan diri tak beraturan. Ya, ku dengar-dengar sih diperintah menuju bis masing-masing. Aku –Neneng Novesha Dewi-, Febriana Prastiwi, Ichwan Rizky Ananda, Evy Dharmayati, Cindy Yosan Daynestrie, Ayu Tri Suryaningsih, Filadelfia, Rosyani Dwi Putri Anggreini, Chikita Kasih Soeling, Roberto, Nikho Prasetyo, Muhammad Saufi, Yulia Maulida, Asyahrani, Yudi Agung Wicaksono, dan Bimo Gadang Purwanto memasuki bis sepuluh dengan guru pendamping Ibu Diasie beserta suami. Semuanya diatur rapi. Di bangku depan samping supir diduduki oleh Ibu Diasie, suaminya, dan kedua anaknya. Di barisan kedua diduduki oleh Yulia Maulida, Cindy Yosan Daynestrie, Ayu Tri Suryaningsih, dan Rosyani Dwi Putri Anggreini. Di barisan ketiga diduduki oleh Febriana Prastiwi, aku -Neneng Novesha Dewi-, Filadelfia, dan Ichwan Rizky Ananda. Dibarisan keempat diduduki oleh Asyahrani, Yudi Agung Wicaksono, Bimo Gadang Purwanto, dan Evy Dharmayati. Sedangkan barisan paling belakang atau barisan kelima diduduki oleh Roberto, Muhammad Saufi, Nikho Prasetyo, dan Chikita Kasih Soeling.
Jadwal keberangkatan yang diatur berangakat jam 05.00 WIB, ini diundur, diundur, dan diundur sampai jam 06.07 WIB barulah bis meluncur menuju Pantai Batakan. Namun perkiraan ku salah, ternyata, bis berhenti di dekat Pom Bensin Sungai Beras. Karena salah satu bis rombongan yang mengalami kecelakaan kecil. Tak lama kiranya. Bis kembali meluncur. 06.21 WIB. Kami melewati jembatan Pulau Petak. Selama diperjalanan bermacam-macam aktivitas yang kami lakukan seperti, memakan makanan ringan, bernyanyi bersama, bercanda ria, serta lain hal. Tak terkira waktu telah brlangsung hingga arloji yang melingkar di pergelangan tangan Febri telah menunjukkan pukul 07.40 WIB. Semua bis berhenti sejenak melepas lelah di Musola desa Marabahan baru, Kec. Anjir, Kab Barito Utara.
Untuk kesekian kalinya Febri teman sejawat ku melirik arloji sesaat. 08.00 WIB. Bis yang kami gunakan menapakkan ban di Jembatan Barito. Diperjalanan diliputi dengan suka cita. Berbagai lelucon yang dibuat-buat sering memecahkan keheningan dan menimbulkan gelak tawa. Hanya Rosyani yang terdiam diri. Mungkin dia tidur. Sesaat semua perut mulai demo, Yulia mengeluarkan bahan bawaan. Setengah lusin Malkist, Better, dan kacang Jaipong. Wah, lumayan nih. Pikir ku sesaat. Tahu saja dia pikiran teman-temannya kala itu. Ditawarkannya beberapa makanan ringan yang dia punya. Ya jelaslah semua besorak mau.
Terbuai dengan canda ria, tak terasa kami sudah memasuki daerah Handel Bakti tepat pukul 08.10 WIB. Aku terlelap dalam buaian lagu yang di senandungkan oleh Filadelfia. Tidur sejenak. Tak tahu lagi atas aktivitas yang mereka lakukan.
10.04 WIB. Sebuah sentuhan lembut mendarat dikepala ku. Febri rupanya membangunkanku. Ku pikir sudah sampai di Pantai Batakan, namun pikiran ku melesat jauh, kala itu baru memasuki daerah Pelaihari dan beistirahat di terminal bis Tanah Laut, Pelai hari. Terlihat gerobak pentol dikelilingi oleh beberapa pembeli yang sebenarnya juga teman-temanku.
Kiranya dari Pelaihari satu jam waktu perjalanan ke daerah Pantai Batakan.
Perjalanan Pelaihari-Batakan diisi oleh senandungan seriosa oleh Filadelfia didekatku. Merdu sekali. Hingga kami terbuai oleh senandungannya sehingga tak terasa waktu semakin bertambah dan menunjukkan pukul 11.35 WIB. yang menandakan kami telah sampai ditempat tujuan pertama, Pantai Batakan.
Aku -Neneng-, Febri, Ayu, dan Evy adalah teman sejawat sejak kelas sembilan ini melangkahkan kaki menuruni bis disertai teman-teman yang lainnya. Menuju pondokan disekitar Pantai. Suasana pantai yang begitu kotor. Kotoran-kotoran kuda dan sampah yang begitu berserakan tiada terkira sukses menyingkirkan rasa takjub yang ku bayangkan sejak jauh-jauh hari. Jauh berbeda sekali. Menjijikkan. Hanya kata itu yang mampu terungkap. Ya, pantas saja, kami dilarang berenang. Memang keadaan yang sangat tak pantas untuk digunakan berenang.
Hingga kami putuskan untuk terlebih dahulu mengisi perut yang sedari tadi sudah mendemo tak karuan. Ketika makan, datang segerombolan anak-anak kecil yang ternyata seorang peminta-minta. Sungguh memelas suaranya. Namun setelah diberi uang kecil oleh Febri. Anak itu berteriak girang tiada terkira. Tak ada sepatah ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut mungilnya itu.
Usai memakan nasi kotak. Uh, namanya saja nasi kotak, tapi nasinya udah dingin keras pula, semua tidak berselera untuk makan. Langsung saja membebaskan diri dengan kegiatan masing-masing di pantai nan kotor ini dengan semilir angin yang mampu menapis sedikit rasa kekecewaan atas pemandangan tak sedap itu. Ada yang bermain sepak bola bersama guru olahraga, bermain air, mengukir tulisan diatas pasir, berfoto-foto, menyewa dokar untuk dibawa berkeliling pantai, bahkan ada juga yang hanya menonton aktivitas-aktivitas yang terjadi saat itu dikejauhan sana.
Semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi bagaikan di Pantai Kuta, Bali. Namun, perbedaannya begitu jauh. Pasir pantai yang lembut hanya dapat dirasakan dipesisir pantai. Lewat dari itu, kasar, bahkan membuat kaki menjadi gatal. Ya, mungkin saja itu faktor dari sampah-sampah dan kotoran-kotoran kuda yang berserakan. Tak ada rintangan bagi kami untuk melakukan aktivitas seperti teman-teman yang lain. Berfoto bersama. Bermain air, dan lainnya.
Bosan berlama-lama di air. Beranjak kami pergi menuju kamar ganti. Namun, sebelum itu kami pergi mengambil alas kaki yang tadi telah kami tanggalkan begitu saja, untunglah tak hilang diambil orang. Bu Karlimi yang sedang duduk diatas batang kayu menegur kami, “Eh, kalian kenapa tidak menggunakan alas kaki, itu bahaya, banyak kotoran kuda yang dapat menyebabkan gatal-gatal. Apalagi kamu Febri yang sedang luka dikaki, nanti iritasi.” Ucap bu Karlimi menasehati kami semua. Kami semua senyum-senyum, terutama Febri. Dan dengar-dengar ada satu bis yang mogok, yaitu bis 7, rombongan Pak Ahmad Yani. Dengan hati yang berkalut kecewa namun tetap diiringi dengan kesetiakawanan, kami rela menunggu sekitar dua jam di pantai Batakan. Yulia saja hampir terlelap dalam tidurnya untuk menunggu waktu selama itu.
14.30 WIB semua sudah berkumpul, waktunya ke tujuan selanjutnya. Eh, tunggu. Katanya tidak jadi ke Martapura. Oh, tidak. Ah, tidak seru itu. Tapi, tak apalah, mengingat waktu yang semakin sempit ini. Bis dilajukan ke tujuan terakhir saja, Duta mall. Waktu terus bergulir, petang telah menanti. 17.35 WIB. semua telah menandaskan diri di parkiran Duta Mall, lalu membubarkan diri tanpa diperintah ke tujuan-tujuan masing-masing. Aku, Febri, Evy, Ayu, dan Cindy pertama-tama ke Stroberry, dan beralih ke Naughty, bosan menunggu lama si Barbie -panggilan akrab Febri- dan si mancung -panggilan akrab Ayu- bergelayut dengan aksesoris yang menurut ku terlalu feminim. Aku, Evy, dan Cindy beralih ke toko buku Gramedia. Putar-putar, pusing, terpisah dari Evy dan Cindy. Baterai telepon genggam ku yang sudah tidak bernyawa. Oh, begitukah nasibku? Tunggu, itu dia mereka sedang membaca buku didepan deretan rak buku SLTP. Ku ajak Evy ke deretan rak Novel. Namun baru saja ku daratkankan tangan ku di cover novel yang ku cari. Pekikan yang lumayan keras memancar tak karuan dari mulut Cindy dengan nafas yang tersengal-sengal berkata bahwa segera saja berkumpul di parkiran bawah, mau pulang katanya.
Dengan nafas yang tak karuan, menuruni eskalator dengan tergesa-gesa, salah pintu keluar pula. Terpaksa harus tetap berlari. Sesampai diparkiran, ternyata, masih ada yang ditunggu. Ah, sial sekali, belum sempat membeli apa-apa. Tapi, tak apalah.
Tepat pukul 19.30 WIB, kami teruskan perjalanan pulang. Dengar-dengar mau melewati Kayutangi, semua bergidik ngeri. Namun, salah. Tidak jadi melewati daerah itu. Rasa kantuk yang menyerang dengan tiba-tiba tak dapat ku tahan lagi. Terbawa sepoian angin dari arah jendela sangat mendukung sekali untuk ku tidur kala itu.  Melewati jembatan Barito tepat jam 21.00 WIB. Namun, ku terbangun hanya melirik arloji sesaat, lalu tidur lagi. Tapi, lelucon yang dibuat oleh Ichwan mampu menahan kantuk ku sesaat. “Hei, aku hantu. Aku bisa menggigit. Ayo, siapa yang takut dengan ku.” Ucapnya seraya menutupi wajahnya dengan topi milik Yudi, sambil diiringi gelak tawa dari teman-teman ku. Dering lucu juga berkumandang dari telepon genggam milik Asyahrani yang sedang dimainkan oleh Chikita. Diserahkannya telepon tadi ke Asyahrani, tapi tak ada sahutan disana. Dia -Asyahrani- terlelap dalam tidur disamping gitar milik Yudi. Tersembunyi posisinya. Sampai hampir semua isi bis membantu Chikita membangunkannya. “Oi, Ni, bangun Ni. Bapak mu menelepon.” Ucap semuanya serempak. Masih tak ada jawaban. Kala itu ada saja lelucon yang diselipkan. “Ni, kue. Kue, kue, Ni.” Celoteh Ichwan dengan logat menirukan seorang ibu-ibu paruh baya yang biasa berjualan kue dipagi hari. Sontak, Asyahrani langsung terbangun dengan sambutan gelak tawa seisi bis. Sesaat setelah itu. Semua kembali diam. Kembali keaktivitas masing-masing. Ya, tidur lah aktivitasku.
21.34 WIB, menaiki jembatan Pulau Petak. Semua sudah bangun. Meminjam telepon genggam milik teman untuk menghubungi orang tua masing-masing agar segera siap siaga di sekolah. Febri kembali melirik arloji ketika bis sudah menandaskan diri didepan gerbang SMP Negeri 1 Selat. 21.42 WIB. Angka itulah yang tertera dilayar monitor arlojinya. Semua berkemas-kemas. Mengambil tas masing-masing di bagasi. Lalu, kembali membubarkan diri menuju jemputan masing-masing.
22.00 WIB barulah ku sentuhkan alas kaki di halaman rumah ku. Jauh sekali dari jadwal yang diperkirakan. Ku letakkan barang bawaan di kamar. Ganti baju, kemudian melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dan……. Kembali ke kamar ‘tuk hempaskan diri di kasur nan empuk itu. Bergelayut indah dalam mimpi.