Rabu, 08 Agustus 2012

Kasta dalam Cinta, Perlukah ?! -Last Part(5)-

    Terdengar dering memekik mekik, yang sumbernya ternyata telepon rumah. Tak ada yang mengangkat. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Tapi, untung saja masih ada pembantu rumah tangga yang berpetak disana.
          “Ya, Hallo. Keluarga Zahra di sini. Ada yang bisa saya bantu.” Kalimat sopan seperti itulah yang sering diajarkan oleh Zahra kepada semua pelayan dirumahnya.
          “Kami dari pihak Rumah Sakit mengabarkan bahwa Tuan Ray kecelakaan dan sekarang sedang di rawat di Rumah Sakit Soesroatmojo. Terima Kasih.” Ucapan itu tentu saja membuat pembantu rumah tangga mereka tersontak kaget lalu memekik mekik histeris. Keliatannya dia benar-benar shock. Ikatan batinnya terlalu kuat dikarenakan dialah Babysister Ray selagi masih bayi.
          “Ada apa toh Mbok kok histeris, tenang mbok, tenang.” Lantunan kalimat itu berusaha untuk menenangkan Mbok Ipah yang begitu shock akan berita duka yang iya dapat.
          “Itu ... Itu… Hiks Hiks huaaaaaaa” masih saja Mbok Ipah menangis, menangis, dan menangis.
          “Itu opo toh Mbok?”
          “Itu loh, Den Ray… Den Ray… Hiks…Hiks…Huaaaaaaaa”
          “Kenapa dengan Den Ray, Mbok?” Pria ini, pria yang merupakan tukang kebun di keluarga Zahra begitu antusias ingin tahu kelanjutan kalimat apa gerangan yang mampu membuat Mbok Ipah meraung – raung sehisteris ini.
          “ Den Ray Ke..kec..kece..kecel..kecela..kecelak..kecelaka..kecelakaan… hiks huaaaa..” Kalimat itu akhirnya terlontar walaupun masih terpotong-potong.
          “Apa?”
          “Iya, Mas, makanya ayo kita ke RS sekarang.”
          “Ya sudah, tapiiii….”
          “Tapi apa?”
          “Ibu Zahra?”
          “Alah! Apa peduli Nyonya besar itu sama anaknya?” Tepis Mbok Ipah cepat namun kali ini sudah tidak dalam keadaan meraung-raung seperti tadi lagi.
-------------------------------
          “Bang.” Ucap Acha dikala mereka tengah termenung memandang langit biru yang terbentang luas dihiasi bintang-bintang yang bertebaran. Di baringkan kepalanya di bahu Irsyad.
          “Iya, Cha. Kenapa?” Timpal Irsyad lembut seraya membetulkan posisi duduk nya yang sedikit merosot dari sandaran pohon kelapa tempat nya menopang punggung tadi.
          “Bang Irsyad yakin ingin merantau lagi ke Kalimantan?” Intonasi kalimatnya begitu tak bersemangat dan memberi tekanan bahwa Acha tak menyetujui perihal itu.
          “Iya, Cha. Ini demi kita. Abang janji, abang pasti pulang membawa nafkah untuk keluarga kita dan pastinya tetap membawa cinta untuk mu.” Sahutan Irsyad begitu menyentuh dan meyakinkan, hingga mampu membuat Acha menganggukkan kepala tanda bahwa dia akhirnya setuju akan kepergian suaminya untuk mencari nafkah di Pulau Borneo.
------------------------
          Mengapa harus ada kasta dalam cinta? Apakah itu perlu? Cinta ku hampa tanpa Acha? Tapi, Acha bukan milik ku sekarang. Dia milik Irsyad seorang diri. Ify… Gadis itu bukan gadis yang ku suka. Arghh. Lirih Deva dikala ia termenung di balkon kamar tanpa ada yang menemani.
          “Deva!” Terdengar suara khas Zahra di luar sana, menggedor - gedor pintu tak karuan, entah sejak kapan ia berdiri disana, Deva pun tak tahu perihal itu.
          “Apa sih, Ma?!” Pertanyaan itu terlontar cepat dari mulut Deva, menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak mau diganggu oleh siapa pun, termasuk mamanya.
          “Temani Ify nonton, cepat!”
          “Tapi, Ma. Aku Capek!”
          “Kalian hanya duduk di kursi empuk, menikmati acara yang di putar, apa susahnya sih?”
          “Itu susah, Ma! Kenapa nggak mama aja yang nonton sama dia!”
          Prakk
          Deva membanting pintu kamarnya, lalu menguncinya. Dia hempaskan tubuhnya kekasur beraroma Rumah Sakit. Ah, Ya! Rumah Sakit? Tidak, bukan kasurnya, tapiiiiiiii….. Dia sedang termenung akan kedua kakaknya yang sudah satu minggu tak ada kabar setelah pernikahan mereka berlangsung.
          Sebersit pikiran negative melintas di otak Deva, berpikiran yang tidak-tidak terjadi pada kedua kakaknya. Di lihatnya arloji yang melintang di tangan kanan nya. 23.49. Artinya 5 jam sudah dia kembali temenung di tempat tidur ini, setelah perdebatan yang terjadi di depan pintu kamar tadi. Sudah sangat tengah malam, tak mungkin ia pergi keluar untuk menemui kakaknya ataupun hanya menelepon mereka. Namun pikiran negative itu ditepisnya jauh-jauh.
----------------------------------------
          Sang surya sudah terbit di ufuk Timur, memancarkan sinar terik menyilau mata yang sukses membuyarkan Deva dari mimpi-mimpinya semalam. Pagi ini terasa berat baginya. Kembali beraktivitas tanpa ditemani pencerah jiwa. Tak ada lagi Acha disampingnya. Kini hanya ada Ify. Iya, Ify. Hanya ada Ify.
          Untuk menghela nafas, di bentangkannya tangan di gazebo sudut balkon kamarnya, lalu duduk menghadap udara pagi. Siap untuk menyikapi persoalan yang akan di hadapi hari ini. Mungkin lebih baik ataupun buruk.
          Lamunan nya di kagetkan oleh seseorang. Ify. Ify mengagetkannya.
          Tubuh nya bergelayut manja di tubuh Deva, tangannya nakal meraba-raba pipi Deva, mencium nya, lalu memeluknya. Deva semakin risih hal ini.
          “Ify, apaan sih!” Bentakan Deva terasa kasar, kasar sekali menurut Ify.
          “Kenapa sih lu Dev? Kenapa masih seperti ini? Lusa kita akan tunangan? Kapan kamu berubah, Sayang?” Ify mencoba tabah, dilontarkannya beribu-beribu pertanyaan yang harus dijawab Deva. Namun, Apa ? Nihil. Deva tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Dia malah ngeluyur menarik handuk dan berlalu ke kamar mandi seraya mendengus kesal. Entah apa yang membuatnya kesal. Kehadiran Ifykah? Pertanyaan yang dilontarkan Ify terlalu banyakkah? Tidak bisa dia menjawab pertanyaan Ify itu? Belum siap kah batinnya untuk menerima Ify sebagai pengganti Acha? Atau dia belum bisa melupakan Acha? Ataukah dia ingin tetap memiliki Acha seorang diri -dan merebutnya dari Irsyad-? Entahlah. Hanya Deva dan Tuhan yang tahu akan jawaban itu.
-------------------------------------------------
          “Cha, yang pintar ya disini. Abang akan kembali untuk mu :*” Kalimat Irsyad begitu menyesakkan dada Acha. Betapa tidak, suaminya akan kembali merantau ke Pulau Borneo baru saja setelah mereka mengikat janji suci.
          “Ah, abang, bisa aja. Acha kan udah pintar duluan. Hehee. Abang jangan lupa sama Istri ya, Bang.” Kalimat Acha terlontar begitu menusuk jantung. Menandakan dirinya memang tak mau di lupakan oleh suami nya itu.
          “Cha, Cha. Mana ada sih suami lupain istrinya.ckckckck.”
          Hmm, Bang Irsyad mau pergi saja masih saja berguyon. Aku akan selalu kangen kamu, Bang. Batin Acha bersuara.
-------------------------------------------------
          “…. Sekilas Info, ditemukan mayat seorang gadis. Ashilla Zahrantiara itulah nama yang terdeteksi dari tanda pengenal korban. Diduga korban bunuh diri karena depresi. Mutmainah dari Jembatan Ancol melaporkan.”
          “Nyonya, ada telepon. Eh, maksudnya ini, di berita. Nona Shilla masuk berita, Nya.” Teriak Mbok Ipah yang sedang menonton berita, tapi lebih tepatnya membersihkan meja tamu yang baru saja di gunakan oleh clien-clien Zahra, sambil menonton berita.
          “Apa sih, Mbok? Clien saya kan jadi pulang semua setelah mendengar suara pencakar langit mu itu! Heh!” Kata Zahra kesal.
          Dia pikir, suaranya apa nggak kaya pencakar ayam apa? Huh! Coba aku majikan dia pembantu, udah ku pites-pites tuh kepala. Lirih Mpok Ipah kesal.
          “Itu loh Nyonya, Nona Shilla diberitakan tewas bunuh diri di Jembatan Ancol.” Kata Mbok Ipah santai. Iya sangat santai. Ini merupakan kabar duka yang menurut Mbok Ipah kabar suka. Ya karena Shilla merupakan anak majikan yang suka membentak, tidak seperti Ray dan Deva. Menurutnya.
          “Apa?” Zahra memekik keras. Dan…. Pingsan.
          “Aduh, nyusahin aja nih Nyonya, anaknya tewas malah pingsan. Ckckck.” Gumam Mbok Ipah pelan, namun gumamannya masih terdengar Deva yang terlihat baru menuruni tangga dengan gelayutan manja tubuh Ify. Deva terlihat risih sepertinya.
          “Kenapa Tante Zahra pingsan, Mbok?” Tanya Ify sedikit cemas.
          “Itu Non, Nona Shilla tewas bunuh diri di jembatan Ancol.” Jawab Mbok Ipah sekenanya.
          “Mbok jangan ngaco ah.” Timpal Deva cepat tak percaya namun menjadi khawatir akan kebenaran berita itu.
          “Benar Den. Den Ray juga kecelekaan, sekarang dirawat di rumah Sakit Soesroatmojo.” Jawab Mbok Ipah tak kalah cepat masih dengan keadaan menopang tubuh Zahra yang lunglai tak berdaya.
          “Nyonya gimana, Den?” lanjutnya.
          “Antarkan ke kamar ya mbok, saya mau jenguk Ray di rumah Sakit.” Ucap Deva cepat sambil menyambar kunci mobil yang terletak di dekat telepon rumah.
          “Tidak. Mama mau ikut juga ke Rumah Sakit.” Ucap Zahra tiba-tiba. Ternyata dia telah siuman.
          “Apa sih mama pengen ke sana segala? Mama baru aja pingsan.” Kalimat itu terlontar cepat dan bernada membentak.
          “Mama juga mama nya Ray, mama berhak ke sana! Lebih Berhak dari kamu.”
          Diam sejenak, sunyi, namun… “Mama tahu kenapa Kak Shilla tewas bunuh diri? Mama tahu kenapa Ray kecelakaan? Semua karena mama. Mama yang egois mai jodoh-jodohin. Nggak mikir apa giman bathin mereka tersiksa, Ma. Tersiksa. T-E-R-S-I-K-S-A banget ma!” Kata Deva tegas sembari menekankan kata ‘tersiksa’.
          “Diam kamu Deva! Berani kamu membentak Mama!”
          “Mama nggak pernah mikirin anaknya. Egois sama pekerjaan. Dikit-dikit meeting. Dikit-dikit meeting. Nggak bosen apa, Ma? Mama lihat! Apa kata Deva? Kak Shilla rumah tangganya dengan Kak Riko berantakan kan? Itu karena Mama. Karena mama memaksa mereka menikah dengan tidak didasari cinta.  Mama lihat Ray? Ray kecelakaan juga karena memikirkan itu, Ma. Mereka tersiksa. Begitu juga aku, Ma.” Kata Deva melontarkan unek-unek yang di simpannya dalam-dalam. Kini memang saat yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek ini. Menurut nya.
          “Drrt..Drrt..” terdengar handphone Zahra bordering.
          “Hallo.. Hah? Apa?... Oh, tidak mungkin ini?... Tidak!.. Aku tidak percaya?... Bagaimana bisa?... Ya, sudah… Apa?... Menutup Perusahaan?... Karena saham habis?.... Ya sudah. PHK semua karyawan!” Amarah Zahra begitu memuncak mendengar kabar itu. Lagi-lagi dia pingsan.
--------------------------------
          Gadis mungil itu kini terlihat sendiri, menatap sinar metari yang hendak meninggalkan bumi. Tak ada lelaki lagi yang menemani. Bang Irsyad? Merantu. Deva? Tak mungkin. Buang jauh-jauh nama itu. Lirihnya.
          “Kenapa kamu, Cha? Kangen dengan Irsyad kah?” Ucap Ozy yang sukses membuat nya tersontak kaget.
          “Aku temani menatap sunset ya.” Lanjutnya seraya meminta sesuatu. Acha hanya mengangguk perihal setuju.
          “Make a wish, Cha. Sebelum sunset di 2010 ini tenggelam.” Titah nya cepat saat mentari menggulung pergi dengan terpaan gulungan ombak dikejauhan.
          “Iya:)” ucap Acha sambil member senyum di kedua ujung bibinya.
--------------------------------------
          Terdengar isak tangis menyeruak di koridor Rumah Sakit. Terlihat jelas di san Keluarga besar Zahra sedang berduka akan kehilangan Shilla, kecelakaannya Ray, bangkrut nya perusahaa merekam ditambah lagi dengan disitanya asset berharga milik keluarga Zahra. Tiba-tiba datang segerombolan pejabat menghampiri mereka. H, tidak. Tidak segerombolan, tetapi hanya dua orang. Lelaki dan Wanita. Siapa mereka ?
          “Saya dengar perusahaan Anda melanda kebangkrutan, Nyonya Besar?!” kata wanita itu mengawali pembicaraan akan kedatangannya kemari. Kalimatnya pedas dan menyinggung hati.
          “Dan kami kemari hanya ingin menarik Ify dari Anda. Ups, dari keluarga Anda tentunya. Kami tidak mau menikahkan anak kami dengan orang miskin seperti Anda! Ups, cuih! Ma’af ya Nyonya, Permisi!” Lanjut lelaki yang berdiri tepat disamping Zahra. Oh, Orang tua Ify rupanya. Mereka datang hanya untuk membatalkan pertunangan ternyata. Hanya? Oh, tidak. Itu pukulan yang berat yang baru saja diterima Zahra sekarang ini. Dia menjerit tak karuan layaknya orang gila. Hingga Deva dan Mbok Ipah terpaksa membanyanya ke Rumah Sakit Jiwa. Sedangkan Ray seminggu setelah itu sudah berangsur membaik. Kini mereka benar-benar jatuh miskin. Deva, Ray dan Mbok Ipah tinggal di rumah Mbok Ipah di Desa, sedangkan Zahra harus menerima takdirnya di Rumah Sakit Jiwa. Mungkin ini memang jalan Tuhan dalam kehidupan nya yang tamak dan angkuh selama ini.
---------------------
        Beberapa tahun lamanya sudah Deva dan Ray luntang lantung di jalanan meraih rezeki, walau mereka tinggal bersama Mbok Ipah, tetap saja mereka bekerja. Ya seperti ini lah kerjaan mereka. Pengemis. Hingga suatu ketika dipanas yang terik. Ketika iya menjajaki pasir putih di pantai Ancol. Mengais-ngais sampah. Mengais barang yang masih bisa dijual atau bahkan dipakai. Tak sengaja Deva yang berlari membawa secangkir minuman untuk kakaknya, menabrak seorang gadis jelita yang tengah melamun dipinggir pantai hendak bangun berdiri. Tumpah lah isi minuman tadi. Deva yang sedikit mengenali wajah gadis ini, tersinyum simpul dan menyapa.
          “Acha ya?” tanyanya manis kala itu.
          “Eh.em. Ma’af Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda.” Jawab gadis itu yang sontak membuat Deva kaget. Akankah Acha tidak mengenalinya? Melupakannya begitu saja? Atau tidak mengenalinya karena berpakaian lusuh seperti ini? Sedangkan Acha? Dia berpakaian glamor layaknya putri yang menunggu pangerannya? Aku kah pangeran itu? Ah, tidak! Aku lelaki jalang yang hidup membabi buta, meraih rezeki dari mengais sampah, sungguh hina. Lirih Deva panjang.
          “Ah, kamu, Cha. Aku Deva. Masa kamu lupa sama aku?” Tanya Deva kemudian setelah dia terbangun dari lamunannya. Belum sempat pertanyaannya dijawab Acha. Datang seorang lelaki kebulu-bulean yang sangat menawan, pakaiannya sederhana namun terlihat rapi dan bersih, tidak seperti dirinya dan Ray, -yang lagi lagi-lusuh.
          “Siapa dia, Cha?” tanyanya kepada Acha.
          “Entah lah, Bang. Acha juga tidak kenal. Katanya namanya Deva. Deva siapa ya Bang?” jawab Acha panjang lebar.
          “Ya sudahlah. Tak usah dipikirkan. Ayo kita pergi. Permisi.” Ucapnya ramah. Kemudian pergi meninggalkan Deva dan Ray yang termenung menatap kepergian mereka. Punggung mereka sudah ditelan bumi. Tak ada lagi mereka di hadapan Deva dan Ray saat ini.
          “Sudahlah, Dev. Acha sudah tidak mengenal kita. Ayo, bekerja lagi.” Ajak Ray yang sukses memecah keheningan kala itu.
          “Arrrgggghhh…   KAU JAHAT CHA !!. MENGAPA HARUS ADA KASTA DALAM CINTA, KALA ITU?” jerit Deva keras memecah kesunyian pantai Ancol dikala senja.

-The End-

by : Neneng (kelompok 1)

Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL-

Neneng Novesha Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar