Terdengar dering memekik mekik, yang sumbernya ternyata
telepon rumah. Tak ada yang mengangkat. Rumah itu kosong tak
berpenghuni. Tapi, untung saja masih ada pembantu rumah tangga yang
berpetak disana.
“Ya, Hallo. Keluarga Zahra di sini. Ada
yang bisa saya bantu.” Kalimat sopan seperti itulah yang sering
diajarkan oleh Zahra kepada semua pelayan dirumahnya.
“Kami dari pihak Rumah Sakit mengabarkan bahwa Tuan Ray kecelakaan dan
sekarang sedang di rawat di Rumah Sakit Soesroatmojo. Terima Kasih.”
Ucapan itu tentu saja membuat pembantu rumah tangga mereka tersontak
kaget lalu memekik mekik histeris. Keliatannya dia benar-benar shock.
Ikatan batinnya terlalu kuat dikarenakan dialah Babysister Ray selagi
masih bayi.
“Ada apa toh Mbok kok histeris, tenang mbok,
tenang.” Lantunan kalimat itu berusaha untuk menenangkan Mbok Ipah yang
begitu shock akan berita duka yang iya dapat.
“Itu ... Itu… Hiks Hiks huaaaaaaa” masih saja Mbok Ipah menangis, menangis, dan menangis.
“Itu opo toh Mbok?”
“Itu loh, Den Ray… Den Ray… Hiks…Hiks…Huaaaaaaaa”
“Kenapa dengan Den Ray, Mbok?” Pria ini, pria yang merupakan tukang
kebun di keluarga Zahra begitu antusias ingin tahu kelanjutan kalimat
apa gerangan yang mampu membuat Mbok Ipah meraung – raung sehisteris
ini.
“ Den Ray
Ke..kec..kece..kecel..kecela..kecelak..kecelaka..kecelakaan… hiks
huaaaa..” Kalimat itu akhirnya terlontar walaupun masih
terpotong-potong.
“Apa?”
“Iya, Mas, makanya ayo kita ke RS sekarang.”
“Ya sudah, tapiiii….”
“Tapi apa?”
“Ibu Zahra?”
“Alah! Apa peduli Nyonya besar itu sama anaknya?” Tepis Mbok Ipah cepat
namun kali ini sudah tidak dalam keadaan meraung-raung seperti tadi
lagi.
-------------------------------
“Bang.” Ucap
Acha dikala mereka tengah termenung memandang langit biru yang
terbentang luas dihiasi bintang-bintang yang bertebaran. Di baringkan
kepalanya di bahu Irsyad.
“Iya, Cha. Kenapa?” Timpal
Irsyad lembut seraya membetulkan posisi duduk nya yang sedikit merosot
dari sandaran pohon kelapa tempat nya menopang punggung tadi.
“Bang Irsyad yakin ingin merantau lagi ke Kalimantan?” Intonasi
kalimatnya begitu tak bersemangat dan memberi tekanan bahwa Acha tak
menyetujui perihal itu.
“Iya, Cha. Ini demi kita. Abang
janji, abang pasti pulang membawa nafkah untuk keluarga kita dan
pastinya tetap membawa cinta untuk mu.” Sahutan Irsyad begitu menyentuh
dan meyakinkan, hingga mampu membuat Acha menganggukkan kepala tanda
bahwa dia akhirnya setuju akan kepergian suaminya untuk mencari nafkah
di Pulau Borneo.
------------------------
Mengapa
harus ada kasta dalam cinta? Apakah itu perlu? Cinta ku hampa tanpa
Acha? Tapi, Acha bukan milik ku sekarang. Dia milik Irsyad seorang diri.
Ify… Gadis itu bukan gadis yang ku suka. Arghh. Lirih Deva dikala ia termenung di balkon kamar tanpa ada yang menemani.
“Deva!” Terdengar suara khas Zahra di luar sana, menggedor - gedor
pintu tak karuan, entah sejak kapan ia berdiri disana, Deva pun tak tahu
perihal itu.
“Apa sih, Ma?!” Pertanyaan itu terlontar
cepat dari mulut Deva, menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak mau
diganggu oleh siapa pun, termasuk mamanya.
“Temani Ify nonton, cepat!”
“Tapi, Ma. Aku Capek!”
“Kalian hanya duduk di kursi empuk, menikmati acara yang di putar, apa susahnya sih?”
“Itu susah, Ma! Kenapa nggak mama aja yang nonton sama dia!”
Prakk
Deva membanting pintu kamarnya, lalu menguncinya. Dia hempaskan
tubuhnya kekasur beraroma Rumah Sakit. Ah, Ya! Rumah Sakit? Tidak, bukan
kasurnya, tapiiiiiiii….. Dia sedang termenung akan kedua kakaknya yang
sudah satu minggu tak ada kabar setelah pernikahan mereka berlangsung.
Sebersit pikiran negative melintas di otak Deva, berpikiran yang
tidak-tidak terjadi pada kedua kakaknya. Di lihatnya arloji yang
melintang di tangan kanan nya. 23.49. Artinya 5 jam sudah dia kembali
temenung di tempat tidur ini, setelah perdebatan yang terjadi di depan
pintu kamar tadi. Sudah sangat tengah malam, tak mungkin ia pergi keluar
untuk menemui kakaknya ataupun hanya menelepon mereka. Namun pikiran
negative itu ditepisnya jauh-jauh.
----------------------------------------
Sang surya sudah terbit di ufuk Timur, memancarkan sinar terik menyilau
mata yang sukses membuyarkan Deva dari mimpi-mimpinya semalam. Pagi ini
terasa berat baginya. Kembali beraktivitas tanpa ditemani pencerah
jiwa. Tak ada lagi Acha disampingnya. Kini hanya ada Ify. Iya, Ify.
Hanya ada Ify.
Untuk menghela nafas, di bentangkannya
tangan di gazebo sudut balkon kamarnya, lalu duduk menghadap udara pagi.
Siap untuk menyikapi persoalan yang akan di hadapi hari ini. Mungkin
lebih baik ataupun buruk.
Lamunan nya di kagetkan oleh seseorang. Ify. Ify mengagetkannya.
Tubuh nya bergelayut manja di tubuh Deva, tangannya nakal meraba-raba
pipi Deva, mencium nya, lalu memeluknya. Deva semakin risih hal ini.
“Ify, apaan sih!” Bentakan Deva terasa kasar, kasar sekali menurut Ify.
“Kenapa sih lu Dev? Kenapa masih seperti ini? Lusa kita akan tunangan?
Kapan kamu berubah, Sayang?” Ify mencoba tabah, dilontarkannya
beribu-beribu pertanyaan yang harus dijawab Deva. Namun, Apa ? Nihil.
Deva tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Dia malah ngeluyur
menarik handuk dan berlalu ke kamar mandi seraya mendengus kesal. Entah
apa yang membuatnya kesal. Kehadiran Ifykah? Pertanyaan yang dilontarkan
Ify terlalu banyakkah? Tidak bisa dia menjawab pertanyaan Ify itu?
Belum siap kah batinnya untuk menerima Ify sebagai pengganti Acha? Atau
dia belum bisa melupakan Acha? Ataukah dia ingin tetap memiliki Acha
seorang diri -dan merebutnya dari Irsyad-? Entahlah. Hanya Deva dan
Tuhan yang tahu akan jawaban itu.
-------------------------------------------------
“Cha, yang pintar ya disini. Abang akan kembali untuk mu :*” Kalimat
Irsyad begitu menyesakkan dada Acha. Betapa tidak, suaminya akan kembali
merantau ke Pulau Borneo baru saja setelah mereka mengikat janji suci.
“Ah, abang, bisa aja. Acha kan udah pintar duluan. Hehee. Abang jangan
lupa sama Istri ya, Bang.” Kalimat Acha terlontar begitu menusuk
jantung. Menandakan dirinya memang tak mau di lupakan oleh suami nya
itu.
“Cha, Cha. Mana ada sih suami lupain istrinya.ckckckck.”
Hmm, Bang Irsyad mau pergi saja masih saja berguyon. Aku akan selalu kangen kamu, Bang. Batin Acha bersuara.
-------------------------------------------------
“…. Sekilas Info, ditemukan mayat seorang gadis. Ashilla Zahrantiara
itulah nama yang terdeteksi dari tanda pengenal korban. Diduga korban
bunuh diri karena depresi. Mutmainah dari Jembatan Ancol melaporkan.”
“Nyonya, ada telepon. Eh, maksudnya ini, di berita. Nona Shilla masuk
berita, Nya.” Teriak Mbok Ipah yang sedang menonton berita, tapi lebih
tepatnya membersihkan meja tamu yang baru saja di gunakan oleh
clien-clien Zahra, sambil menonton berita.
“Apa sih,
Mbok? Clien saya kan jadi pulang semua setelah mendengar suara pencakar
langit mu itu! Heh!” Kata Zahra kesal.
Dia pikir, suaranya apa nggak kaya pencakar ayam apa? Huh! Coba aku majikan dia pembantu, udah ku pites-pites tuh kepala. Lirih Mpok Ipah kesal.
“Itu loh Nyonya, Nona Shilla diberitakan tewas bunuh diri di Jembatan
Ancol.” Kata Mbok Ipah santai. Iya sangat santai. Ini merupakan kabar
duka yang menurut Mbok Ipah kabar suka. Ya karena Shilla merupakan anak
majikan yang suka membentak, tidak seperti Ray dan Deva. Menurutnya.
“Apa?” Zahra memekik keras. Dan…. Pingsan.
“Aduh, nyusahin aja nih Nyonya, anaknya tewas malah pingsan. Ckckck.”
Gumam Mbok Ipah pelan, namun gumamannya masih terdengar Deva yang
terlihat baru menuruni tangga dengan gelayutan manja tubuh Ify. Deva
terlihat risih sepertinya.
“Kenapa Tante Zahra pingsan, Mbok?” Tanya Ify sedikit cemas.
“Itu Non, Nona Shilla tewas bunuh diri di jembatan Ancol.” Jawab Mbok Ipah sekenanya.
“Mbok jangan ngaco ah.” Timpal Deva cepat tak percaya namun menjadi khawatir akan kebenaran berita itu.
“Benar Den. Den Ray juga kecelekaan, sekarang dirawat di rumah Sakit
Soesroatmojo.” Jawab Mbok Ipah tak kalah cepat masih dengan keadaan
menopang tubuh Zahra yang lunglai tak berdaya.
“Nyonya gimana, Den?” lanjutnya.
“Antarkan ke kamar ya mbok, saya mau jenguk Ray di rumah Sakit.” Ucap
Deva cepat sambil menyambar kunci mobil yang terletak di dekat telepon
rumah.
“Tidak. Mama mau ikut juga ke Rumah Sakit.” Ucap Zahra tiba-tiba. Ternyata dia telah siuman.
“Apa sih mama pengen ke sana segala? Mama baru aja pingsan.” Kalimat itu terlontar cepat dan bernada membentak.
“Mama juga mama nya Ray, mama berhak ke sana! Lebih Berhak dari kamu.”
Diam sejenak, sunyi, namun… “Mama tahu kenapa Kak Shilla tewas bunuh
diri? Mama tahu kenapa Ray kecelakaan? Semua karena mama. Mama yang
egois mai jodoh-jodohin. Nggak mikir apa giman bathin mereka tersiksa,
Ma. Tersiksa. T-E-R-S-I-K-S-A banget ma!” Kata Deva tegas sembari
menekankan kata ‘tersiksa’.
“Diam kamu Deva! Berani kamu membentak Mama!”
“Mama nggak pernah mikirin anaknya. Egois sama pekerjaan. Dikit-dikit
meeting. Dikit-dikit meeting. Nggak bosen apa, Ma? Mama lihat! Apa kata
Deva? Kak Shilla rumah tangganya dengan Kak Riko berantakan kan? Itu
karena Mama. Karena mama memaksa mereka menikah dengan tidak didasari
cinta. Mama lihat Ray? Ray kecelakaan juga karena memikirkan itu, Ma.
Mereka tersiksa. Begitu juga aku, Ma.” Kata Deva melontarkan unek-unek
yang di simpannya dalam-dalam. Kini memang saat yang tepat untuk
mengeluarkan unek-unek ini. Menurut nya.
“Drrt..Drrt..” terdengar handphone Zahra bordering.
“Hallo.. Hah? Apa?... Oh, tidak mungkin ini?... Tidak!.. Aku tidak
percaya?... Bagaimana bisa?... Ya, sudah… Apa?... Menutup Perusahaan?...
Karena saham habis?.... Ya sudah. PHK semua karyawan!” Amarah Zahra
begitu memuncak mendengar kabar itu. Lagi-lagi dia pingsan.
--------------------------------
Gadis mungil itu kini terlihat sendiri, menatap sinar metari yang
hendak meninggalkan bumi. Tak ada lelaki lagi yang menemani. Bang Irsyad? Merantu. Deva? Tak mungkin. Buang jauh-jauh nama itu. Lirihnya.
“Kenapa kamu, Cha? Kangen dengan Irsyad kah?” Ucap Ozy yang sukses membuat nya tersontak kaget.
“Aku temani menatap sunset ya.” Lanjutnya seraya meminta sesuatu. Acha hanya mengangguk perihal setuju.
“Make a wish, Cha. Sebelum sunset di 2010 ini tenggelam.” Titah nya
cepat saat mentari menggulung pergi dengan terpaan gulungan ombak
dikejauhan.
“Iya:)” ucap Acha sambil member senyum di kedua ujung bibinya.
--------------------------------------
Terdengar isak tangis menyeruak di koridor Rumah Sakit. Terlihat jelas
di san Keluarga besar Zahra sedang berduka akan kehilangan Shilla,
kecelakaannya Ray, bangkrut nya perusahaa merekam ditambah lagi dengan
disitanya asset berharga milik keluarga Zahra. Tiba-tiba datang
segerombolan pejabat menghampiri mereka. H, tidak. Tidak segerombolan,
tetapi hanya dua orang. Lelaki dan Wanita. Siapa mereka ?
“Saya dengar perusahaan Anda melanda kebangkrutan, Nyonya Besar?!” kata
wanita itu mengawali pembicaraan akan kedatangannya kemari. Kalimatnya
pedas dan menyinggung hati.
“Dan kami kemari hanya ingin
menarik Ify dari Anda. Ups, dari keluarga Anda tentunya. Kami tidak mau
menikahkan anak kami dengan orang miskin seperti Anda! Ups, cuih! Ma’af
ya Nyonya, Permisi!” Lanjut lelaki yang berdiri tepat disamping Zahra.
Oh, Orang tua Ify rupanya. Mereka datang hanya untuk membatalkan
pertunangan ternyata. Hanya? Oh, tidak. Itu pukulan yang berat yang baru
saja diterima Zahra sekarang ini. Dia menjerit tak karuan layaknya
orang gila. Hingga Deva dan Mbok Ipah terpaksa membanyanya ke Rumah
Sakit Jiwa. Sedangkan Ray seminggu setelah itu sudah berangsur membaik.
Kini mereka benar-benar jatuh miskin. Deva, Ray dan Mbok Ipah tinggal di
rumah Mbok Ipah di Desa, sedangkan Zahra harus menerima takdirnya di
Rumah Sakit Jiwa. Mungkin ini memang jalan Tuhan dalam kehidupan nya
yang tamak dan angkuh selama ini.
---------------------
Beberapa tahun lamanya sudah Deva dan Ray luntang lantung di jalanan
meraih rezeki, walau mereka tinggal bersama Mbok Ipah, tetap saja mereka
bekerja. Ya seperti ini lah kerjaan mereka. Pengemis. Hingga suatu
ketika dipanas yang terik. Ketika iya menjajaki pasir putih di pantai
Ancol. Mengais-ngais sampah. Mengais barang yang masih bisa dijual atau
bahkan dipakai. Tak sengaja Deva yang berlari membawa secangkir minuman
untuk kakaknya, menabrak seorang gadis jelita yang tengah melamun
dipinggir pantai hendak bangun berdiri. Tumpah lah isi minuman tadi.
Deva yang sedikit mengenali wajah gadis ini, tersinyum simpul dan
menyapa.
“Acha ya?” tanyanya manis kala itu.
“Eh.em. Ma’af Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda.” Jawab gadis itu
yang sontak membuat Deva kaget. Akankah Acha tidak mengenalinya?
Melupakannya begitu saja? Atau tidak mengenalinya karena berpakaian
lusuh seperti ini? Sedangkan Acha? Dia berpakaian glamor layaknya putri
yang menunggu pangerannya? Aku kah pangeran itu? Ah, tidak! Aku lelaki jalang yang hidup membabi buta, meraih rezeki dari mengais sampah, sungguh hina. Lirih Deva panjang.
“Ah, kamu, Cha. Aku Deva. Masa kamu lupa sama aku?” Tanya Deva kemudian
setelah dia terbangun dari lamunannya. Belum sempat pertanyaannya
dijawab Acha. Datang seorang lelaki kebulu-bulean yang sangat menawan,
pakaiannya sederhana namun terlihat rapi dan bersih, tidak seperti
dirinya dan Ray, -yang lagi lagi-lusuh.
“Siapa dia, Cha?” tanyanya kepada Acha.
“Entah lah, Bang. Acha juga tidak kenal. Katanya namanya Deva. Deva siapa ya Bang?” jawab Acha panjang lebar.
“Ya sudahlah. Tak usah dipikirkan. Ayo kita pergi. Permisi.” Ucapnya
ramah. Kemudian pergi meninggalkan Deva dan Ray yang termenung menatap
kepergian mereka. Punggung mereka sudah ditelan bumi. Tak ada lagi
mereka di hadapan Deva dan Ray saat ini.
“Sudahlah, Dev. Acha sudah tidak mengenal kita. Ayo, bekerja lagi.” Ajak Ray yang sukses memecah keheningan kala itu.
“Arrrgggghhh… KAU JAHAT CHA !!. MENGAPA HARUS ADA KASTA DALAM CINTA,
KALA ITU?” jerit Deva keras memecah kesunyian pantai Ancol dikala senja.
-The End-
by : Neneng (kelompok 1)
Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL-
Neneng Novesha Dewi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar