-Part 1-
Lamunannya pecah saat temannya menjentikan jarinya tepat di hadapan gadis cantik tersebut. Gadis itu tersenyum. Senyum miris. Sambil membawa sekantong ikan segar ia melangkahkan kakinya ke sebuah halaman rumah besar. Halaman rumah yang berasitektur klasik, dengan cat white broken. Ia menghela nafas panjang. Ia angkat tangannya untuk menekan bel. Ia harus kuat, harus.
“Kamu yakin ?” Tanya temannya was-was yang melihat raut wajah Acha yang jauh dari kata rela. Lihat saja, matanya masih sembab. Sepertinya kejadian kemarin sore masih terekam jelas di memorinya. Acha hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak tau menjawab apa. “Kan kalian bisa coba dulu.” Lanjut sang teman lagi. Acha kembali menghela nafas, kali ini berat.
“Kami beda.” Akhirnya hanya itu yang bisa Acha jawab. Keke, sang teman setia yang juga sedang menenteng sekantong ikan segar pun hanya bisa mengangguk.
Cekleekk,,,pintu terbuka. Acha langsung merasakan aliran darahnya berhenti. Dengan kekuatan yang ia buat-buat, ia menggerakkan tangannya lalu menyerahkan sekantong ikan segar tadi kepada sosok di depannya. Acha hanya menunduk, takut kalau sampai pertahanannya jebol.
“Ini pesanan Nyonya Zahra, Mas.” Ujar Acha agak bergetar.
“Kemarin mama bilang apa aja ke kamu ?” Tanya pemuda itu, dingin. Acha tetap menunduk. Sial, ia merasa pandangannya terhalang sesuatu.
Acha kembali menampakkan kekuatan yang ia buat-buat. “Cuma nyuruh antar ikan ini. Udah, itu aja.” Suara Acha makin bergetar.
“Dan itu artinya kamu nyerah ?”
Acha memberanikan diri untuk menatap orang di hadapannya, walaupun ia tau sebenarnya itu mustahil. Perlahan ia angkat wajahnya. Kini mata mereka bertemu. “Mengantar ikan memang sudah menjadi tugas saya.”
Pemuda ia berdecak. “Aku tau soal perjanjian kamu dan mama kemarin sore.”
Acha kembali menghela nafas. Perjanjian kemarin sore ? Hhh,,,bagaimana bisa kemarin sore ia terlibat perjanjian bodoh dengan seorang wanita yang,,,,,mantan majikannya. Ia di temui di sebuah pondok kecil, lalu di nyatakan di pecat, lalu di perintahkan untuk mengantar ikan pagi ini,,,,,,
“Bahwa jika kamu berani nganter ikan berarti kamu nyerah.” Pernyataan Deva, sosok pemuda di hadapannya, serta merta memotong lamunan Acha. Acha menunduk lagi. Matanya benar-benar basah.
Deva yang menyadari bahu Acha terguncang dengan gerakan cepat menarik Acha ke dalam pelukannya. Tak ada penolakan dari Acha. Acha malah semakin menumpahkan tangisannya. Deva mengambil kantong yang dipegang Acha lalu memberikannya pada Keke. Seolah mengerti isyarat Deva, Keke pun segera pergi. Deva dan Acha membutuhkan waktu berdua.
“Aku gak mau kamu jadi anak durhaka. Aku gak pantas buat kamu. Aku Cuma anak nelayan. Aku gak pantas, gak pantas.” Acha meracau di sela tangisannya. Deva menepuk-nepuki kepala Acha dengan lembut.
“Aku sayang sama kamu, Cha. Aku gak peduli kamu itu anak siapa. Aku sayang kamu. terserah apa kata mama. Dari dulu mama memang gak pernah ngertiin aku.”
“Mas Deva, Nyonya Zahra ngelakuin itu untuk kebaikan kamu.” Perlahan Acha merenggangkan pelukan Deva. Dan terlepas. “Aku gak cocok di bawa ke kehidupan kalian. Aku gak ngerti apa-apa tentang tata makan yang benar, tata jalan yang anggun, tata bicara yang seharusnya. Aku gak ngerti, Mas.”
“Itu semua bisa di pelajari, Cha. Sampai sekarang aku juga gak pernah menggunakan sendok sup untuk memakan sup. Aku selalu menggunakan pisau buah untuk memotong steak di atas piring.” Deva berseru dengan terburu. Mencoba meyakinkan Acha bahwa tak semua keluarga terhormat harus hidup serapi itu.
“Ini udah keputusan aku. Aku gak bisa.” Putus Acha lirih, sangat lirih. Hampir tak terdengar. Tapi itu cukup menjadi suara nyaring bagi Deva. Deva mulai emosi.
“Ok. Terserah kamu. Bilang aja kalau kamu itu gak sayang sama aku. Terserah. AKU GAK PEDULI !!!” Deva membanting pintu rumahnya tepat di muka Acha. Acha menghela nafas, walau sudah ia duga reaksi Deva akan seperti ini, tapi tetap saja itu menyakitkan. Dengan langkah gontai dan tak bersemangat, Acha melangkah keluar dari pekarangan rumah Deva. Airmatanya tetap mengalir.
@@@
“Jadi kamu mau kerja apa sekarang ?” Tanya Keke begitu ia selesai membantu seorang ibu-ibu membawa belanjaan. Ia selonjoran di samping Acha. Kakinya agak pegal.
Acha menggeleng pelan. “Belum tau, Ke. Masih nyari.”
“Kamu yakin ngelepasin Mas Deva gitu aja ?”
Acha mengangguk. “Dari pada ayah yang jadi korban ?”
Keke menyerngitkan dahi, bingung. Ia ubah posisi duduknya jadi menghadap ke Acha. Kembali ia bertanya. “Aku gak nyangka Nyonya Zahra se-tega itu.” Acha hanya tersenyum kecut. “Jadi kamu gak akan ketemu Mas Deva lagi ?”
“Iya.” Jawab Acha tidak yakin. Ia menoleh ke Keke. Tersenyum kecil, lalu membenamkan wajahnya di antara kaki yang ia tekuk. “Sepertinya.”
“Sabar, Cha.” Keke jadi ingat sesuatu. “Oh iya, Mas Deva tau soal ancaman itu ?” Acha menggeleng. “Kenapa gak kamu kasih tau aja ?”
“Ya gak mungkinlah, Ke. Nanti malah makin memperburuk keadaan. Bukan Cuma perahu ayah yang akan di hancurkan, tapi juga semua pasar kita ini.”
Keke manggut-manggut. “Kemarin Mas Deva marahin kamu ya ?”
“Aku terima kok. Mas Deva pasti kecewa sama aku. Harusnya dulu kami gak menjalin hubungan apapun.” Urai Acha getir. Ada nada gak rela saat ia mengucapkan kalimat terakhir.
“Kamu masih sayang sama dia ?”
Acha menatap Keke agak lama. Lalu membuang pandangannya ke arah pantai. “Harus di jawab ya, Ke ?”
Keke tersenyum garing. Ia beranjak meninggalkan Acha. Acha sedikit lega saat Keke izin untuk kembali ke pasar, dia memang sedang ingin sendirian. Pikirannya terlalu penuh. Entah ia bisa berjalan seperti biasanya atau tidak.
@@@
Deva memukul batang kelapa di hadapannya dengan kesal. Ia geram, marah, kecewa. Dengan langkah besar dan kasar ia beranjak dari tempat itu. Tak butuh waktu lama untuk sampai kembali ke rumahnya. Ia langsung menuju ruang kerja mamanya. Tak ada waktu untuk mengetuk. Dengan satu terjangan, pintu terbuka.
“Sampai kapan sih Dev kamu akan selalu membuka pintu seperti itu kalau sedang marah ?” Wanita anggun itu berseru tenang. Pandangannya masih fokus ke LCD laptop. Ada grafik-grafik aneh di layar LCD itu.
Sadar bahwa Deva hanya berdiri dengan nafas memburu di hadapannya, wanita itu berseru kembali. Ia lepaskan kacamatanya. Tetap dengan gerakan anggun dan rapi. “Dari semua keluarga Ekada, Cuma kamu yang paling gak punya aturan.”
Deva mencibir. Mata sinisnya ia tujukan pada wanita yang notabene adalah mamanya. “Aku bukan Kak Ray yang selalu nurut dengan semua perintah bodoh mama. Aku bukan Kak Shilla yang mau-mau aja di suruh nikah dengan orang asing yang baru ia kenal 5 menit. Denger ya ma, mama itu memang mama aku, tapi bukan berarti mama berhak ikut campur dalam semua urusan aku. Aku bisa ngurus semuanya sendiri”
Zahra, sang mama, melipat tangannya di dada. Lalu bangkit dari kursi kebangsaannya dan berjalan ke arah Deva. “Coba kamu ingat, siapa yang keluarin kamu dari kantor polisi waktu kamu terlibat balap liar ? Siapa yang ngelunasin semua kartu kredit kamu setiap bulannya ? Siapa yang memfasilitasi semua kebutuhan kamu ? Gadis miskin itu atau orang yang ada di hadapan kamu ini ?” Zahra balas menatap sinis ke Deva. Deva menunduk. Semua uraian yang mamanya uraikan adalah kenyataan. Deva kalah telak.
“Kenapa diam ? Atau jangan-jangan kamu terserang amnesia mendadak ?” Zahra berujar lagi. Cara bicaranya sungguh tenang, tapi menusuk. “Dengar ya sayang, ini semua demi kamu dan kehormatan keluarga kita. Apa kata orang nanti kalau bungsu seorang Ekada menjalin hubungan dengan seorang anak nelayan yang gak jelas asal-usulnya. Belajar dari Ray dan Shilla. Lihat, sekarang mereka bahagia dengan rumah tangga mereka.”
Deva tersenyum mengejek. “Oh ya ? Mama tunggu aja surat perceraian mereka sampai ke tangan mama. Aku rasa surat itu sudah di perjalanan.” Setelah menendang meja kerja Zahra ia pun keluar dari ruangan itu. Beberapa hiasan di meja Zahra berjatuhan. Zahra tersenyum licik, tingkah Deva membuatnya semakin bernafsu untuk melancarkan rencana selanjutnya.
@@@
Sore ini, sore ke tujuh Acha duduk sendirian. Semuanya berbeda. Biasanya ia dan Deva selalu duduk di sini, di pondok kecil di pinggiran pantai. Rutinitas mereka setiap sore : melihat sunset. Acha memejamkan matanya. Matahari sore menyapu setiap inci kulit Acha, hangat namun menenangkan. Deruan ombak semakin memperkuat suasana romantis. Andai Deva di sini. Lupakan Acha, lupakan !!!
“Kalau matanya di tutup, gak keliatan donk sunset-nya.” Suara seseorang menggema di telinga Acha. Suara,,,Deva ? Seketika Acha membuka matanya. Benar saja, Deva sudah duduk manis di sampingnya. Memeluk lutut, sama seperti dirinya.
“Mas Deva ?”
Deva tersenyumm manis. Senyum yang selama beberapa hari ini sangat Acha rindukan. “Maaf, selama seminggu ini aku gak nemenin kamu ngeliat sunset.”
“Itu semua udah gak perlu lagi.”
“Kenapa ?”
Acha menatap kosong ke arah pantai. “Kita harus terbiasa dengan keadaan yang mulai berbeda.”
“Tapi aku gak mau terbisa.” Balas Deva, tegas. Ia balikkan tubuh Acha sampai menghadap ke arahnya. Ia angkat wajah Acha dengan telunjuknya, menatap gadis itu tepat di manik matanya. “Aku sudah terlalu terbiasa dengan kamu.”
“Kita beda.” Acha merusaha menahan airmatanya.
“Cha, cinta itu gak perlu kasta.”
“Mas, tapi kasta kita memang beda.” Acha menggeser duduknya agak jauh dari deva. Membuang mukanya ke sisi yang berlawanan. “Kasta kita beda. Sangat jauh. Kamu terlalu tinggi.”
“Ok, aku buang semua gelar yang aku sandang. Aku gak mungkin bisa terbiasa tanpa kamu, Cha.” Ujar Deva putus asa. Susah sekali membujuk Acha.
“Banyak yang menjadi korban kalau kita egois.” Acha berseru tenang. Berusaha lebih tepatnya. Deva bangkit dan duduk di hadapan Acha. Ia menggenggam tangan Acha. Kali ini ia harus berhasil.
“Acha, kalaupun nanti mama ngusir aku dari rumah dan memblokir semua rekening aku, aku masih tetap bisa menghidupi kamu. Aku punya tabungan atas nama aku sendiri, dan aku udah punya jaminan kerja. Pliss,,,Cha. Aku janji gak akan nyakitin kamu.” Deva benar-benar sudah putus asa. Acha sama sekali tak merespon. Ia malah menunduk. Pikirannya mendadak kacau. Ia menarik tangannya dari genggaman Deva. Lalu perlahan turun dari pondok. “Mau kemana ?”
Acha tersenyum tipis. “Ngelupain semuanya.”
“Ma,,,maksud kamu ?”
“Anggap aja kita gak pernah kenal.” Telak Acha menyakitkan.
Seketika Deva mematung. Tak percaya dengan yang di ucapkan oleh Acha. Sebegitu gampangkah menghilangkan sebuah rasa menurut Acha ? Deva turun dari pondok lalu berdiri di hadapan Acha. Ia rengkuh pipi gadis itu. Agak bergetar, sepertinya Acha sedang berusaha menahan sesuatu.
“Aku gak mau.” Ucap Deva tegas. Ia langsung memeluk tubuh Acha, erat. Tidak ingin melepaskannya lagi sedetik pun. “Gak gampang, Cha. Semuanya gak gampang. Dulu aku susah payah mengeyakinin hati aku kalau aku sebenarnya sayang kamu. Dan sekarang kamu bilang anggap aja kita gak pernah kenal. Itu sama aja ngebunuh aku.” Deva meracau seraya memperat pelukannya di tubuh mungil Acha. Seakan takut bahwa bila pelukannya renggang sedikit saja maka gadis itu akan menghilang.
“Lepasin aku.”
“Gak. Gak akan.” Suara Deva terdengar ketakutan.
“Mas Deva, tolong lepasin aku.” Perintah Acha, dingin. Dan pelukan terlepas. Acha tersenyum kecil, lalu ia berlari meninggalkan Deva. Pertahanannya jebol. Sakit sekali rasanya mengatakan semua keputusan-keputusan tadi.
Deva yakin ini mimpi. Pasti yang lari di hadapannya itu bukan Acha. Pasti Cuma ilusi. Pasti. Ia menendang-nendangi pasir dengan brutal. Maki-makian meluncur bebas dari mulutnya.
“ARRGGHH,,,,,,INI GAK ADIIIILLLLLLLLL !!!”
To be continue,,,
By : Irma (Kelompok 1)
Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL- Short story lesson
Iermma ZukoHighmore D'gRoe (Iermma Egoizss D'gRoe)
Lamunannya pecah saat temannya menjentikan jarinya tepat di hadapan gadis cantik tersebut. Gadis itu tersenyum. Senyum miris. Sambil membawa sekantong ikan segar ia melangkahkan kakinya ke sebuah halaman rumah besar. Halaman rumah yang berasitektur klasik, dengan cat white broken. Ia menghela nafas panjang. Ia angkat tangannya untuk menekan bel. Ia harus kuat, harus.
“Kamu yakin ?” Tanya temannya was-was yang melihat raut wajah Acha yang jauh dari kata rela. Lihat saja, matanya masih sembab. Sepertinya kejadian kemarin sore masih terekam jelas di memorinya. Acha hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak tau menjawab apa. “Kan kalian bisa coba dulu.” Lanjut sang teman lagi. Acha kembali menghela nafas, kali ini berat.
“Kami beda.” Akhirnya hanya itu yang bisa Acha jawab. Keke, sang teman setia yang juga sedang menenteng sekantong ikan segar pun hanya bisa mengangguk.
Cekleekk,,,pintu terbuka. Acha langsung merasakan aliran darahnya berhenti. Dengan kekuatan yang ia buat-buat, ia menggerakkan tangannya lalu menyerahkan sekantong ikan segar tadi kepada sosok di depannya. Acha hanya menunduk, takut kalau sampai pertahanannya jebol.
“Ini pesanan Nyonya Zahra, Mas.” Ujar Acha agak bergetar.
“Kemarin mama bilang apa aja ke kamu ?” Tanya pemuda itu, dingin. Acha tetap menunduk. Sial, ia merasa pandangannya terhalang sesuatu.
Acha kembali menampakkan kekuatan yang ia buat-buat. “Cuma nyuruh antar ikan ini. Udah, itu aja.” Suara Acha makin bergetar.
“Dan itu artinya kamu nyerah ?”
Acha memberanikan diri untuk menatap orang di hadapannya, walaupun ia tau sebenarnya itu mustahil. Perlahan ia angkat wajahnya. Kini mata mereka bertemu. “Mengantar ikan memang sudah menjadi tugas saya.”
Pemuda ia berdecak. “Aku tau soal perjanjian kamu dan mama kemarin sore.”
Acha kembali menghela nafas. Perjanjian kemarin sore ? Hhh,,,bagaimana bisa kemarin sore ia terlibat perjanjian bodoh dengan seorang wanita yang,,,,,mantan majikannya. Ia di temui di sebuah pondok kecil, lalu di nyatakan di pecat, lalu di perintahkan untuk mengantar ikan pagi ini,,,,,,
“Bahwa jika kamu berani nganter ikan berarti kamu nyerah.” Pernyataan Deva, sosok pemuda di hadapannya, serta merta memotong lamunan Acha. Acha menunduk lagi. Matanya benar-benar basah.
Deva yang menyadari bahu Acha terguncang dengan gerakan cepat menarik Acha ke dalam pelukannya. Tak ada penolakan dari Acha. Acha malah semakin menumpahkan tangisannya. Deva mengambil kantong yang dipegang Acha lalu memberikannya pada Keke. Seolah mengerti isyarat Deva, Keke pun segera pergi. Deva dan Acha membutuhkan waktu berdua.
“Aku gak mau kamu jadi anak durhaka. Aku gak pantas buat kamu. Aku Cuma anak nelayan. Aku gak pantas, gak pantas.” Acha meracau di sela tangisannya. Deva menepuk-nepuki kepala Acha dengan lembut.
“Aku sayang sama kamu, Cha. Aku gak peduli kamu itu anak siapa. Aku sayang kamu. terserah apa kata mama. Dari dulu mama memang gak pernah ngertiin aku.”
“Mas Deva, Nyonya Zahra ngelakuin itu untuk kebaikan kamu.” Perlahan Acha merenggangkan pelukan Deva. Dan terlepas. “Aku gak cocok di bawa ke kehidupan kalian. Aku gak ngerti apa-apa tentang tata makan yang benar, tata jalan yang anggun, tata bicara yang seharusnya. Aku gak ngerti, Mas.”
“Itu semua bisa di pelajari, Cha. Sampai sekarang aku juga gak pernah menggunakan sendok sup untuk memakan sup. Aku selalu menggunakan pisau buah untuk memotong steak di atas piring.” Deva berseru dengan terburu. Mencoba meyakinkan Acha bahwa tak semua keluarga terhormat harus hidup serapi itu.
“Ini udah keputusan aku. Aku gak bisa.” Putus Acha lirih, sangat lirih. Hampir tak terdengar. Tapi itu cukup menjadi suara nyaring bagi Deva. Deva mulai emosi.
“Ok. Terserah kamu. Bilang aja kalau kamu itu gak sayang sama aku. Terserah. AKU GAK PEDULI !!!” Deva membanting pintu rumahnya tepat di muka Acha. Acha menghela nafas, walau sudah ia duga reaksi Deva akan seperti ini, tapi tetap saja itu menyakitkan. Dengan langkah gontai dan tak bersemangat, Acha melangkah keluar dari pekarangan rumah Deva. Airmatanya tetap mengalir.
@@@
“Jadi kamu mau kerja apa sekarang ?” Tanya Keke begitu ia selesai membantu seorang ibu-ibu membawa belanjaan. Ia selonjoran di samping Acha. Kakinya agak pegal.
Acha menggeleng pelan. “Belum tau, Ke. Masih nyari.”
“Kamu yakin ngelepasin Mas Deva gitu aja ?”
Acha mengangguk. “Dari pada ayah yang jadi korban ?”
Keke menyerngitkan dahi, bingung. Ia ubah posisi duduknya jadi menghadap ke Acha. Kembali ia bertanya. “Aku gak nyangka Nyonya Zahra se-tega itu.” Acha hanya tersenyum kecut. “Jadi kamu gak akan ketemu Mas Deva lagi ?”
“Iya.” Jawab Acha tidak yakin. Ia menoleh ke Keke. Tersenyum kecil, lalu membenamkan wajahnya di antara kaki yang ia tekuk. “Sepertinya.”
“Sabar, Cha.” Keke jadi ingat sesuatu. “Oh iya, Mas Deva tau soal ancaman itu ?” Acha menggeleng. “Kenapa gak kamu kasih tau aja ?”
“Ya gak mungkinlah, Ke. Nanti malah makin memperburuk keadaan. Bukan Cuma perahu ayah yang akan di hancurkan, tapi juga semua pasar kita ini.”
Keke manggut-manggut. “Kemarin Mas Deva marahin kamu ya ?”
“Aku terima kok. Mas Deva pasti kecewa sama aku. Harusnya dulu kami gak menjalin hubungan apapun.” Urai Acha getir. Ada nada gak rela saat ia mengucapkan kalimat terakhir.
“Kamu masih sayang sama dia ?”
Acha menatap Keke agak lama. Lalu membuang pandangannya ke arah pantai. “Harus di jawab ya, Ke ?”
Keke tersenyum garing. Ia beranjak meninggalkan Acha. Acha sedikit lega saat Keke izin untuk kembali ke pasar, dia memang sedang ingin sendirian. Pikirannya terlalu penuh. Entah ia bisa berjalan seperti biasanya atau tidak.
@@@
Deva memukul batang kelapa di hadapannya dengan kesal. Ia geram, marah, kecewa. Dengan langkah besar dan kasar ia beranjak dari tempat itu. Tak butuh waktu lama untuk sampai kembali ke rumahnya. Ia langsung menuju ruang kerja mamanya. Tak ada waktu untuk mengetuk. Dengan satu terjangan, pintu terbuka.
“Sampai kapan sih Dev kamu akan selalu membuka pintu seperti itu kalau sedang marah ?” Wanita anggun itu berseru tenang. Pandangannya masih fokus ke LCD laptop. Ada grafik-grafik aneh di layar LCD itu.
Sadar bahwa Deva hanya berdiri dengan nafas memburu di hadapannya, wanita itu berseru kembali. Ia lepaskan kacamatanya. Tetap dengan gerakan anggun dan rapi. “Dari semua keluarga Ekada, Cuma kamu yang paling gak punya aturan.”
Deva mencibir. Mata sinisnya ia tujukan pada wanita yang notabene adalah mamanya. “Aku bukan Kak Ray yang selalu nurut dengan semua perintah bodoh mama. Aku bukan Kak Shilla yang mau-mau aja di suruh nikah dengan orang asing yang baru ia kenal 5 menit. Denger ya ma, mama itu memang mama aku, tapi bukan berarti mama berhak ikut campur dalam semua urusan aku. Aku bisa ngurus semuanya sendiri”
Zahra, sang mama, melipat tangannya di dada. Lalu bangkit dari kursi kebangsaannya dan berjalan ke arah Deva. “Coba kamu ingat, siapa yang keluarin kamu dari kantor polisi waktu kamu terlibat balap liar ? Siapa yang ngelunasin semua kartu kredit kamu setiap bulannya ? Siapa yang memfasilitasi semua kebutuhan kamu ? Gadis miskin itu atau orang yang ada di hadapan kamu ini ?” Zahra balas menatap sinis ke Deva. Deva menunduk. Semua uraian yang mamanya uraikan adalah kenyataan. Deva kalah telak.
“Kenapa diam ? Atau jangan-jangan kamu terserang amnesia mendadak ?” Zahra berujar lagi. Cara bicaranya sungguh tenang, tapi menusuk. “Dengar ya sayang, ini semua demi kamu dan kehormatan keluarga kita. Apa kata orang nanti kalau bungsu seorang Ekada menjalin hubungan dengan seorang anak nelayan yang gak jelas asal-usulnya. Belajar dari Ray dan Shilla. Lihat, sekarang mereka bahagia dengan rumah tangga mereka.”
Deva tersenyum mengejek. “Oh ya ? Mama tunggu aja surat perceraian mereka sampai ke tangan mama. Aku rasa surat itu sudah di perjalanan.” Setelah menendang meja kerja Zahra ia pun keluar dari ruangan itu. Beberapa hiasan di meja Zahra berjatuhan. Zahra tersenyum licik, tingkah Deva membuatnya semakin bernafsu untuk melancarkan rencana selanjutnya.
@@@
Sore ini, sore ke tujuh Acha duduk sendirian. Semuanya berbeda. Biasanya ia dan Deva selalu duduk di sini, di pondok kecil di pinggiran pantai. Rutinitas mereka setiap sore : melihat sunset. Acha memejamkan matanya. Matahari sore menyapu setiap inci kulit Acha, hangat namun menenangkan. Deruan ombak semakin memperkuat suasana romantis. Andai Deva di sini. Lupakan Acha, lupakan !!!
“Kalau matanya di tutup, gak keliatan donk sunset-nya.” Suara seseorang menggema di telinga Acha. Suara,,,Deva ? Seketika Acha membuka matanya. Benar saja, Deva sudah duduk manis di sampingnya. Memeluk lutut, sama seperti dirinya.
“Mas Deva ?”
Deva tersenyumm manis. Senyum yang selama beberapa hari ini sangat Acha rindukan. “Maaf, selama seminggu ini aku gak nemenin kamu ngeliat sunset.”
“Itu semua udah gak perlu lagi.”
“Kenapa ?”
Acha menatap kosong ke arah pantai. “Kita harus terbiasa dengan keadaan yang mulai berbeda.”
“Tapi aku gak mau terbisa.” Balas Deva, tegas. Ia balikkan tubuh Acha sampai menghadap ke arahnya. Ia angkat wajah Acha dengan telunjuknya, menatap gadis itu tepat di manik matanya. “Aku sudah terlalu terbiasa dengan kamu.”
“Kita beda.” Acha merusaha menahan airmatanya.
“Cha, cinta itu gak perlu kasta.”
“Mas, tapi kasta kita memang beda.” Acha menggeser duduknya agak jauh dari deva. Membuang mukanya ke sisi yang berlawanan. “Kasta kita beda. Sangat jauh. Kamu terlalu tinggi.”
“Ok, aku buang semua gelar yang aku sandang. Aku gak mungkin bisa terbiasa tanpa kamu, Cha.” Ujar Deva putus asa. Susah sekali membujuk Acha.
“Banyak yang menjadi korban kalau kita egois.” Acha berseru tenang. Berusaha lebih tepatnya. Deva bangkit dan duduk di hadapan Acha. Ia menggenggam tangan Acha. Kali ini ia harus berhasil.
“Acha, kalaupun nanti mama ngusir aku dari rumah dan memblokir semua rekening aku, aku masih tetap bisa menghidupi kamu. Aku punya tabungan atas nama aku sendiri, dan aku udah punya jaminan kerja. Pliss,,,Cha. Aku janji gak akan nyakitin kamu.” Deva benar-benar sudah putus asa. Acha sama sekali tak merespon. Ia malah menunduk. Pikirannya mendadak kacau. Ia menarik tangannya dari genggaman Deva. Lalu perlahan turun dari pondok. “Mau kemana ?”
Acha tersenyum tipis. “Ngelupain semuanya.”
“Ma,,,maksud kamu ?”
“Anggap aja kita gak pernah kenal.” Telak Acha menyakitkan.
Seketika Deva mematung. Tak percaya dengan yang di ucapkan oleh Acha. Sebegitu gampangkah menghilangkan sebuah rasa menurut Acha ? Deva turun dari pondok lalu berdiri di hadapan Acha. Ia rengkuh pipi gadis itu. Agak bergetar, sepertinya Acha sedang berusaha menahan sesuatu.
“Aku gak mau.” Ucap Deva tegas. Ia langsung memeluk tubuh Acha, erat. Tidak ingin melepaskannya lagi sedetik pun. “Gak gampang, Cha. Semuanya gak gampang. Dulu aku susah payah mengeyakinin hati aku kalau aku sebenarnya sayang kamu. Dan sekarang kamu bilang anggap aja kita gak pernah kenal. Itu sama aja ngebunuh aku.” Deva meracau seraya memperat pelukannya di tubuh mungil Acha. Seakan takut bahwa bila pelukannya renggang sedikit saja maka gadis itu akan menghilang.
“Lepasin aku.”
“Gak. Gak akan.” Suara Deva terdengar ketakutan.
“Mas Deva, tolong lepasin aku.” Perintah Acha, dingin. Dan pelukan terlepas. Acha tersenyum kecil, lalu ia berlari meninggalkan Deva. Pertahanannya jebol. Sakit sekali rasanya mengatakan semua keputusan-keputusan tadi.
Deva yakin ini mimpi. Pasti yang lari di hadapannya itu bukan Acha. Pasti Cuma ilusi. Pasti. Ia menendang-nendangi pasir dengan brutal. Maki-makian meluncur bebas dari mulutnya.
“ARRGGHH,,,,,,INI GAK ADIIIILLLLLLLLL !!!”
To be continue,,,
By : Irma (Kelompok 1)
Jika suka dengan Cerbung ini silahkan beri jempol ya !!!
-SSL- Short story lesson
Iermma ZukoHighmore D'gRoe (Iermma Egoizss D'gRoe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar