Rabu, 08 Agustus 2012

This Is My Ability (Short Story)


2011
November kala ini terlihat seorang gadis tengah termenung disudut koridor kampus. Pikirannya entah hilang kemana, melayang-layang tak karuan. Tak dapat digambarkan secara umum. Namun ia mengerti pikiranya sedang kacau. Ya, KACAU. Hanya kata itu yang bergeming dibenaknya. Memikirkan masalah yang bertemu di akhir November ini. Ayah dan ibu yang tak pernah selesai berseteru. Tugas kampus yang segudang. Dan masih banyak hal lagi yang tak dapat dilukiskan.
Lamunannya pecah ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh. Lalu tersenyum simpul, namun terkesan memaksa.
“Sanyounken.” Sapanya lembut dan memastikan apakah benar yang ditemuinya itu adalah seorang gadis yang bernama Sanyounken.
“Ya?” Gadis itu menyahut sekenanya, toh buat apa panjang-panjang. Apa dia harus memarahi orang tadi karena telah membuyarkan lamunannya? Namun, bukankah itu baik? Dia bisa terpecah dari lamunan yang memojokkannya di bulan ini.
“Kamu kenapa, Sany?” Tanya orang tadi pada gadis itu. Sany? Oh, Sany rupanya panggilan akrab orang tadi pada gadis itu.
“Aku? Kenapa?” Sany mengacuhkan kalimat pertanyaan orang tadi dan balik bertanya. Sebuah sikap yag sebenarnya kurang sopan.
Sunyi, sepi, semua diam. Entah kenapa. Tak ada yang angkat bicara. Orang tadi juga diam, dia tidak menjawab pertanyaan konyol gadis itu. Mereka memilih diam-diaman. Tiba-tiba sebersit adegan tak terduga melintas dibenak gadis itu. Adegan apa? Entahlah. Dia tak mau menceritakannya pada dunia.
“Sudah ku katakan berulang kali. Jika kamu punya masalah, cerita padaku. Aku siap mendengarkannya. Terus, jika kamu ingin melamun, jangan ditempat sepi seperti ini, Sany. Itu tidak baik! Kamu ingat cerita lima tahun lalu tentang seorang gadis yang sedikit depresi dan dia selalu merenungkan nasibnya di tempat sepi seperti ini. Aha!! Disini! Ya, disini!” kalimat-kalimat itu terlontar cepat. Hanya terdengar tarikan nafas yang sesekali dilakukannya. Dia begitu bersemangat mengucapkannya, mungkin saja dia sedang ingin menghibur gadis itu.
Tak lama orang tadi melanjutkan kalimat-kalimatnya yang belum rampung. “Lalu, kamu tahu apa yang terjadi? Dia.. dia.. aduh, apa sih namanya itu. Kalau negeri ku -Indonesia- bilang itu namanya kesurupan. Kamu tau kesurupan? Itu loh manusia yang dirasuki oleh roh halus. Kamu ngerti apa maksudku?” ucapannya terdengar lesu ketika mengucapkan kalimat terakhir. Dia tertegun. Gadis yang dia ajak bicara sekarang menatap langit dengan panandangan kosong. Kosong. Kosong. Dan kosong. Tanpa menunggu jawaban apa yang akan di lontarkan gadis itu, orang tadi segera menariknya untuk bangkit dan pergi dari tampat itu.
*
“Celah celah hati ini serasa kosong tak berisi. Apa tak ada yang mau mengisinya? Entah dengan apa. Kasih sayang? Boleh saja. Tapi…… Siapa yang mau memberikan kasih sayang itu untuk menutupi celah-celah kekosongan ini?” Sany bergeming dalam hati. Meratapi sepi yang melanda hati.
“Aku bisa, Sany.” Ucapnya tulus. Tak ada beban untuk mengucapkan itu. Tapi. Tunggu! Kenapa dia mengucapkan kalimat itu. Apa dia bisa membaca pikiran gadis itu? Oh, apa itu mungkin? Tapi… ya bisa saja sih sebenarnya.
“Apa sih kamu itu?” semburat merah menonjol di kedua pipinya. Sekejap dia menjadi salah tingkah. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin saja kalimat orang tadi yang dapat membuatnya begini. Salah tingkah.
“Garaa, kamu datang tak diundang. Menyambar tak diumpan. Berbicara tak diperintah. Duh.duh.. apa sih kamu itu?” lanjut Sany yang masih tidak mengerti apa maksud kalimat yang telah dilontarkan orang tadi. Orang tadi? Garaa? Apa namanya Garaa? Hanya satu kata, ‘IYA’.
“Sany..Sany.” Garaa mengucapkan dua kali berulang nama Sany sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin saja dia gemas dengan perlakuan gadis ini padanya. Padahal Garaa mengenal gadis ini sebagai gadis yang jenius. Tapi, hanya dipertemukan dengan kalimat itu, dia terpojok. Haya sebegitukah kejeniusan Sany? Mari kita lihat pada adegan berikutnya,
“Sany.. kamu lupa? Aku kan bisa membica pikiran orang. Apa kamu lupa? Dan aku menangkap pikiran mu kala itu. Kamu sedang mencari pengisi kekosongan di hati ini.” Ucapnya lagi melanjutkan kalimat-kalimatnya yang belum rampung, bahkan masih belum rampung setelah dia mengatakan ‘Kamu sedang mencari pengisi kekosongan di hati ini’, dia masih saja menggantungkan kalimatnya yang tambah membingungkan gadis yang ada bersamanya saat ini.
“Sudahlah, Garaa. Aku tahu kamu memiliki keahlian itu. Tapi kali ini, pemikiran mu salah, Raa. Aku tak sedang memikirkan itu.” Sany memotong pembicaraan Garaa, dia tidak mau makin terjerumus dengan pemikiran-pemikiran yang dapat membuatnya GR kala itu.
“Itu yang aku tidak suka darimu, Sany. Kamu suka sekali memotong pembicaraan ku. Coba dengarkan aku. Sekali ini saja.” Garaa meminta pasti lalu melanjutkan kalimatnya, “Masih saja kamu berkilah. Apa kamu meragukan kemampuanku ini?” Waw!! Hanya dua kalimat lanjutan uacapanya. Lalu, hening. Tapi hanya sesaat rupanya.
“Garaa… sudah…” Sany berniat mengucapkan sesuatu namun ditepis dengan ucapan Garaa. Kali ini Garaa yang memotong pembicaraan gadis itu.
“Sany, ayolah.” Paksanya. Ckckckck.. ternyata Garaa hanya memaksa agar Sany mengakui kebenaran pemikirannya itu.
Sany terdiam. Ingin rasanya dia menjawab iya di depan pria ini. Namun itu rasanya berat sekali. Tapi, jika dia tidak menjawab iya. Maka kekosongan itu tak akan berisi secepat seperti yang ia harapkan.
“Ayolah. Di pikiranmu saja sudah bergeming kata ‘iya’. Aku bisa, Sany. Aku bisa mengisi kekosongan itu. Apa kamu mau kekosongan itu aku yang mengisinya?” Garaa bergeming kembali. Tak sabar menunggu kalimat-kalimat yang akan terlontar dari lidah mungil gadis itu.
Sejenak suasana menegangkan menggelayuti jantung Sany yang semakin berdenyut kencang, kencang, kencang sekali, serasa akan terlepas dari wadahnya. Dia -Sany- kembali menimbang-nimbang akan apa yang ingin ia lontarkan. Bingung-takut. Dua hal itu yang sedang mengitari pikirannya. Bingung. Dia bingung ingin melontarkan kalimat apa dari lidahnya, sementar lidahnya serasa dikunci gembok panas dari neraka. Menandakan jangan katakana apapun dan lebih baik diam. Takut. Dia takut. Takut jika dia mengatakan yang sesungguhnya Garaa akan menertawakannya. Takut jika memilih diam, hatinya akan tetap kosong, hampa tak berisi.
Sany menepis dua hal tadi. Ia berniat beranjak dari tempatnya. Lalu pergi. Pergi sajalah, dari pada terpojok disini. Terpojok akan pertanyaan-pertanyaan Garaa yang membuatnya semakin galau. Dia bersiap ambil langkah seribu. Lalu melengos pergi. Apa yang terjadi dengan Garaa? Apakah dia menahan kepergian Sany? Seperti uluran tangan yang mengait tangan gadis itu agar tidak pergi? Ternyata tidak. Gara membiarkan gadis itu pergi entah kemana. Ditelan bumi pun tak apa. Hush. Apaan sih Garaa? Dia -Garaa- kini termenung sendiri tak ada yang menemani. Dia pusing akan semua ini. Hati yang sebenarnya ingin ia selipkan disisi kekosongan hati Sany. Tapi dia tak dapat mengutarakannya secara tersurat. Ya! Dia hanya mampu mengutarakan secara tersirat bukan tersurat.
*
Langit mulai menghitam, dunia fana ini hanya menggantung pada sinar bulan. Hah ? Hanya? Tidak! Aku refisi kalimat itu. Dunia fana ini menggantung kan diri pada sinar bulan kala kita di luar rumah. Eh. Benar tidak begitu. Entahlah. Lupakan masalah itu. Kembali ke pokok pikiran cerpen ini.
Dikala hujan malam ini, Sany kembali termenung. Namun, bukan di tempat seperti siang tadi. Dia.. dia.. Dia duduk termenung di sudut kamar tepat diatas kasurnya. Ruangan yang ditata secara minimalis dengan dua buah lukisan dirinya digantung tepat di dinding dekat tempat tidurnya. Lampu hias yang diletakkan diatas sebuah meja kecil disamping tempat tidurnya. Lampu hias yang berbentuk unik, dengan hiasan berupa mahkota Putri Raja William dengan warna keemasan. Lampu hias yang biasa Sany gunakan kala ia tidur dimalam hari. Terdapat satu buah sofa yang membundar bertolak belakang dengan tempat tidurnya, menghadap sebuah televisi yang berukuran 29 inch dengan pajangan sebuah pot bunga mawar putih diatasnya. Lemari yang berukuran sedang di pojok kamar dekat jendela menghadap pintu yang menuju kearah balkon kamarnya. Dan sebuah rak buku yang memanjang di sepanjang dinding kamarnya –dari pintu sampai pojok sudut ruangan sebelah kiri kamarnya- hingga jika kita membuka pintu kamar Sany yang memag terletak di sebelah kanan, maka kita tidak melihat rak buku sepanjang itu. Namun, yang pertama kita lihat adalah lemari di dekat pintu menuju balkon kamarnya.
Andai aku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini hukuman bisa di beli
Kita orang yang lemah pasrah akan keadaan
Senandung reff Lagu Gayus tambunan terpancar dari speeker sebuah handphone yang sedang menandaskan diri di sebuah meja kecil disamping tempat tidur Sany. “Satu pesan masuk” kalimat itulah yang tertera di layar monitor handphone tadi. Handphone Sany rupanya. Punya siapa lagi coba kalau bukan miliknya dirinya?
Dengan dorongan yang memaksa dan kalau bukan hatinya yang bertanya-tanya dari siapa gerangan yang telah tega mengirimkan pesan itu hingga sukses membuyarkan lamunannya.
*
2016
            Mentari terik kala itu tengah berada tepat diatas kepala seorang gadis yang tengah berjalan menyusuri jalan utama kampusnya. Universitas Ujimiyoki. Sebuah Universitas di Jepang yang memuat mahasiswa dan mahasiswi yang berbakat dalam hal keajaiban. Ya, Universitas ini hanya mempelajari seputar keajaiban, tak ada hal lain yang akan di pelajari. Matematika? Biologi? Fisika? Kimia? Sejarah? Ekonomi? Tidak ada kata itu dalam Universitas ini. Hanya ada keajaiban yang terdapat disana. Sihir? Oh, tentu bukan. Kebanyakan orang biasa mengatakan hal itu dengan sebutan indra keenam. Itulah yang membuat seorang gadis kelahiran Jepang ini berminat untuk menuntut dan mengasah keajaiban yang terdapat dalam dirinya di Universitas ini. Gadis remaja ini naru menyadari akan kemampuannya sejak kejadian dua tahu silam.
            *Flashback on*
            Derapan kaki berderu cepat di jembatan penyebrangan. Langkahnya begitu terdengar terburu-buru. Langkah per langkah semakin cepat di buatnya. Seperti terkejar waktu saja. Mimpi yang tinggi tiba-tiba terbayang di benaknya. Andai dia bisa terbang, atau bisa menghilang, atau bisa berlari secepat kilat.
            Seperti ada suatu keajaiban terjadi padanya. Semilir angin yang tadi berhembus perlahan, kini dengan hitungan detik berubah cepat bagaikan angin putting beliung yang memutar dirinya terombak ambik terbawa semilir angin putting beliung tadi. Dan…………. Impian nya terwujud, kini dia telah tiba ditempat tujuannya.
            *Flashback Off*
            “Sanyouken.” Terdengar seruan lembut dari arah belakang tempat gadis tadi berpijak. Seruannya lembut namun nada terengah-engah tetap terlantun dari iramanya berkata. Kiranya dia telah mengejar gadis yang dipanggil dengan sebutan ‘Sanyouken’ sedari tadi.
            “Ya?” Sahut Sanyounken tanpa menoleh sedikitpun pada orang tadi. Dia tetap berjalan lurus ke depan. Dibenaknya hanya ada sebersit pikiran agar dapat secepatnya bertanggal di ruangannya. Terbebas dari sinar mentari yang begitu menyangat kala itu.
            “Seberapa lama sih kamu cuekin aku? Apa salah ku? Apa kamu masih marah pada ku akan kejadian hari lalu yang menurut mu itu salah?” Mulutnya berucap cepat untuk melontarkan seribu satu pertanyaan yang terngiang di otaknya. Tak ada jeda sedikitpun disana. Namun masih berkesan lembut. Dia masih berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Sanyounken, yang sedari tadi dibuatnya –Sanyounken- semakin cepat.
            “Sudahlah, Garaa. Buat apa kamu menanyakan ‘Seberapa lama sih kamu cuekin aku? Apa salah ku? Apa kamu masih marah pada ku akan kejadian hari lalu yang menurut mu itu salah?’ Jawabannya? Kamu mau tahu apa jawaban ku? Masih mau tahu kamu?” Tanya Sanyounken dengan sedikit marah yang membara-bara di hatinya. Namun ia tetap berusaha tenang.
            “Sany, maafkan aku.” Lirihnya cepat sembari menundukkan kepala, malu. Hanya kalimat itu yang terlontar di mulutnya.
            Sany menghentikan langkahnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
“Untuk apa? Perihal itu? Sudahlah, Garaa. Untuk apa kamu minta maaf padaku? Apa kamu punya salah pada ku? Bukan aku, Garaa. Bukan aku! Aku sudah dapat menerka pikiranmu. kamu kemari tak ada kata tulus untuk meminta maaf dan tulus itu tetap terpaku erat di hatimu. Disini. Kamu lakukan ini hanya semata-mata demi Sakura, pelangimu itu. Dan sahabatmu ini? Apa guna? Tak ada, Garaa. Lebih baik kamu pergi. Cari Sakura! Dia sedang terisak di taman Kimoto.” Ucap Sany cepat dan tetap dengan emosinya, walaupun tak setinggi tadi, kala ini amarah nya sudah mereda.
“Kenapa kamu begitu, Sany? Sakura sudah mengizinkan ku. Dan aku berpijak disini atas keinginan ku sendiri. Bukan karena Sakura! Bukan, Sany! Seberapa banyak lagi sih aku harus meminta maaf pada mu? Aku….”
“Garaa! Cukup! Cukup! Aku tidak mau mendengar mu lagi. Sudah cukup kamu melukai Pak Mimori dengan tatapan tajam dan mematikan itu hanya karena dia lupa mengembalikan bolpointmu yang di pinjamnya tempo hari, hingga beliau terbaring lemah di ICU. Sebegitukah kekejaman mu pada seorang Pak Mimori yang bijaksana. Tak seperti mu! Egois! Aku tahu, beliau adalah Ayah tirimu. Aku tahu, kamu tidak menyukainya. Aku tahu, kamu begitu membencinya. Aku tahu, semua hal tentang mu yang berhubungan dengan beliau. Tapi… Apa kamu mau dikatakan seorang pembunuh??!! Shit!! Tak usah kamu jawab pertanyaan ku. Percuma! Pak Mimori sudah terbaring tak berdaya di Kikiro.” Bentak Sany cepat dan memotong pembicaraan Garaa tadi. Kali ini emosinya sudah tak terkendalikan lagi. Dia berlalu tanpa memperdulikan apa yang hendak dikatakan oleh Garaa yang hendak angkat bicara kala itu.
“San, ….” Garaa ingin berbicara. Namun setelah dia mendongakkan kepalanya, sosok Sany telah berlalu sedari tadi.
Dengan langkah gontai Garaa menyusuri lapangan Universitas Ujimiyoki, namun kali ini dia sedikit melayang, melayang, dan makin melayang ke udara. Melayangkan diri ke udara bukan hal yang aneh. Perihal seperti itu sudah sering dilakukan oleh mahasiswa mahasiswi disini. Pikirannya kali ini melayang tak terkira seperti dirinya yang sedang menikmati indahnya dunia diatas sana.
*
2011
Awal aku berjumpa dengan mu
Tempat seram dan kegundahan mu itu
Menjadi saksi pertemuan kita
Deru cerita membawa kita dalam cita
Suka maupun duka

2016
Kalut duka menyelimuti kita
Khilaf ku telah gunakan ability itu
Kau anggap salah
Aku merasa bersalah
Namun, nasi telah menjadi bubur
Diriku tak mampu bertindak apa-apa
Peristiwa kala itu membuat ku geram sendiri
Namun apa yang dapat ku perbuat
Tak ada guna kemampuanku kala ini
Diriku hanya mampu menatap dengan tatapan tajam yang tak berarti
Menyakitkan memang

Kini,,
Aku hanya mampu
Mampu melihat kepergiannya yang secepat kilat itu
Tanpa ada lambaian tangan
Tanpa ada senyuman
Tanpa ada kegembiraan
Tanpa ada kehalusan
Tetapi tatapan kekecewaan yang mampu tertangkap dibenakku

Kalimat per kalimat tersusun dibenak Garaa, walau masih terkesan berantakan. Tentu saja rangkaian kalimat itu dibuatnya dengan hitungan detik, tanpa ada konsep maupun refisi sedikit pun. Pikiranya kacau. Sekali lagi dia kacau. Penyesalan yang disadari ketika akhir cerita tak ada guna memang. Ia kembali menggeram kencang. Tetap konsisten akan kepercayaannya. “This Is My Ability!!” geraman itu yang terdengar memekik-mekik tanda kekesalannya kala ini. Rintik hujan dibawahnya berkalut semakin kencang. Hah? Dibawahnya? Iya, dibawahnya. Sekarang Garaa sedang menikmati alam diatas awan. Dia meninggal? Tidak. Dia hanya sedang berkalut duka dan dengan dorongan kuat untuk memperaktekan ability terbarunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar