Tidak tahu semua ini berawal darimana. Terbawa suasana,
mengikuti arus kehidupan semata. Aku tidak tahu bagaimana semua ini
tersusun runtut, rapi, namun menyakitkan. Sejenak terlintas pertanyaan,
mengapa harus ada perkenalan jika berakhir dengan syarat melupakan?
Mengapa? Jika semua diizinkan padaku untuk mengelolanya aku tidak akan
pernah mau berkenalan. Cukup aku mengenal siapa aku, siapa Tuhanku, apa
agamaku, apa kitabku, siapa nabiku, siapa keluargaku. Aku hanya ingin
itu. Lalu muncul kembali pertanyaan, bagaimana jika tidak ada interkasi
dalam hidupku? Untuk apa interaksi itu? Berinteraksi dengan khalayak
umum? Untuk apa? Aku sudah mampu berinteraksi dengan Tuhanku, Nabiku,
keluargaku, bahkan diriku sendiri.
***
Pernahkan
kita sadari mengenal itu awal yang menyakitkan? Maka dari itu jika ada
seseorang berlagak akrab padaku, aku selalu mengatakan, aku tidak
mengenalmu dan aku tidak mau berkenalan.
“Kenapa kamu
melamun?” Pertanyaan itu mungkin tertuju padaku. Aku mendengarnya, tapi
tak ku acuhkan. Ya, benar saja katanya aku memang melamun.
“Hei..” Ia kembali berbicara padaku, diikuti dengan gerakan tangan bolak balik didepan wajahku.
Aku tetap diam. Dan kembali melanjutkan rutinitasku tadi. Orang ini hanya menggangguku. Mengganggu rutinitas ku.
“Masih memikirkan soal kemarin ya?” Ia mencoba mencari topik baru.
Mengharapkan ada ucapan yang terlontar dari mulutku. Ku kira. Ku tengok
dia sejenak dengan tatapan nanar lalu dengan gontai ku gerakkan kepala
ku naik turun.
“Kenapa masih dipikirkan sih, Fy? Kamu kan udah
berulang kali di sakitin sama dia. Dicuekin. Hati kamu masih tahan
banting ya digituin? Masih mau mempertahankan hubungan kalian? Apa kamu
nggak jera, Fy? Kamu nggak bisa gini terus, aku nggak suka lihat kamu
....”
“Sssttt...” telunjuk tangan kuletakkan dibibir mungilku,
memberi isyarat untuk ia berhenti berbicara. Aku lelah selalu mendengar
kalimat seperti itu. Itu, itu, itu mulu. Kenapa tidak ada yang
mendukung ku? Kenapa?
“Oke aku diam. Tapi ada syaratnya Ify,
kamu harus move on. Jangan terpuruk! Apa kamu tidak lelah untuk semua
ini? Membiarkannya memperlakukan kamu seperti boneka pajangan gitu.”
Aku bangkit dari dudukku, emosi ku memuncak. Sedari tadi telah
kuusahakan mengendalikan diri. Tapi jika Rio terus saja berbicara
begitu, aku tidak tahan.
“Udah selesai ngomongnya, Tuan Rio yang BIJAK?”
Ia mengejarku, ya mengejar, berusaha mengimbangi langkahku yang begitu cepat, setengah berlari tepatnya.
“Fy, Ify.. Tunggu. Kamu marah?”
Aku berhenti. Membalikkan badan untuk menatap nya.
“Tidak. Mengapa kamu bertanya begitu?”
“Lalu mengapa kamu pergi begitu saja?”
“Karena aku hanya perlu dukungan dari kamu. Bukan pertanyaan semacam tadi. Mario!”
***
Kemarin.
“Apa ini, Gab?” Ku sodorkan handphone milik Gabriel padanya. Bermaksud
menanyakan isi untaian pesan yang ada dipercakapannya. Bersama Shilla.
“Ini?” Ia kelihatan tak berkutik. Tak sengaja tanganku bersentuhan
dengan tangannya saat ia menyambut handphonenya yang ku sodorkan tadi,
dingin.
“Iya. Itu apa maksudnya?”
“Itu hanya bercanda, Fy. Kami sedang bermain-main belaka.”
Bercanda katanya? Untaian kalimat berisyarat mesra begitu dia bilang bercanda?
“Oh ya? Bercanda? Kamu bilang itu bercanda?”
“Iya, Fy. Kami hanya berteman. Tidak lebih.”
“Hanya itu?”
“Iya.”
“Kamu menganggap itu bercanda. Bagaimana dengan dia?”
“Maksudmu?”
“Kaliankan dulu sepasang kekasih yang terikat begitu lama. Bagaimana
kalau dia merasa candaanmu itu dianggap serius olehnya.”
“Itu tidak akan terjadi, Fy.”
“Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?”
“...”
“Apakah kamu masih memiliki rasa pada Shilla?”
“...”
“Jawab, Gab!!”
“Aku masih sayang Shilla, Fy.”
“...”
***
Oke random banget ya ? ini cuman iseng kok, makanya hancur kan? Hancur banget malah.
Ada yang mau kritik pedes-pedesan gak? kritik aja deh. Jelek bilang jelek, hancur bilang aja hancur :D
Maaf asal tag ya u.u kalau ga suka bilang aja, nanti aku untag deh :))
Tengkyuhhhh
Bubye :D :D
@nenengggND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar